Menjembatani Dua Versi Kebutuhan Pendidikan

“Kami ada masukan untuk Adit dan Putri. Kampung A belum mau gabung (di rumah belajar, red) karena belum ada papan tulis hitam untuk mereka catat pelajaran. Harusnya, yang mereka mau itu belajar Bahasa Indonesia, baca, tulis, perkalian, dan pembagian. Sekarang ini kan masih latih-latih saja toh. Tidak usah banyak latih-latih langsung belajar itu saja.” Percakapan dengan Bapak S seorang tokoh di kampung setelah 3x aktivitas belajar per kampung berlangsung.

Bukan masukan yang mengagetkan untuk kami. Karena sejak 2012 mengajar di kampung lain di Papua pun, tuntutan masyarakat sama: Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Komputer. Pelajaran lain di luar itu, dianggap buang waktu dan tidak ada manfaatnya. Di satu sisi kami bisa memahami kenapa masyarakat sangat butuh ilmu modern di atas. Karena secepatnya anak-anak bisa bahasa Indonesia dan calistung, mereka akan dikirim ke kota untuk ujian dan dapat ijasah. Ijasah adalah koentji kemana saja. Koentji masuk pintu SMP, SMA, Universitas, jadi pegawai atau terjun ke politik. Pendidikan bertujuan mencapai kemakmuran setinggi-tingginya.

Papan tulis hitam berisi catatan penuh untuk anak mencatat pelajaran (bahasa Indonesia/Matematika) menjadi standar dari pendidikan yang baik dan dibutuhkan masyarakat.

Sepertinya ini bukan hanya relevan di perkampungan di Papua, melainkan masih jadi arus utama pendidikan di level urban ibu kota yang berkiblat pada model China. Dalam artikel Haidar Bagir yang baru-baru ini viral, dikatakan mencetak ahli-ahli yang mengejar kesuksesan ekonomi di pasar global yang materialistis.

Saat bercakap-cakap dengan Bapak S, tentulah sulit kami menjelaskan dalam bahasa Indonesia sederhana bahwa di dunia pendidikan sekarang ada “agama” Finlandia dan “agama” Singapura/China. Finlandia menekankan pada proses, pengembangan potensi dan kreativitas, keterampilan berpikir tinggi lewat pembelajaran kontekstual berbasis aktivitas. Sementara China, berfokus mencetak pekerja yang mengejar pertumbuhan ekonomi. Meski menurut Bagir lagi, negara ini sudah mulai mengoreksi pendekatannya.

Kami tidak berusaha menjelaskan “agama” mana yang lebih kami percaya. Karena melihat realita di lapangan, guru yang tidak pernah mengajar, telah membuat anak-anak yang usianya setara siswa SD dan SMP merasa malu dan rendah diri akibat tertinggal jauh dalam kemampuan akademik. Badan besar, usia menjelang remaja, namun menulis rasa berat, baca terbata-bata, tidak tahu bahasa Indonesia, terlebih perkalian dan pembagian. Itu bahaya, kata masyarakat. Karena itulah, kami memahami kalau bapak S yang adalah tokoh yang sangat kami hormati di kampung tadi mengusulkan percepatan ilmu.

Akan tetapi, kami juga berpikir akibat dari percepatan inilah, kami bertemu dengan pemimpin-pemimpin, kepala bidang, anak-anak mahasiswa Papua yang membaca dengan mengeja, membaca tapi tidak paham, atau lemah dalam matematika dasar. Atau saat kami mengunjungi asrama pelajar Papua di Bandung, beberapa mahasiswa kami temui dalam keadaan teler dan kemudian kami tahu putus kuliah. Mohon dicamkan, tidak semua hal ini terjadi di kalangan mahasiswa Papua. Namun, sering terdengar isu kejut budaya ini dikarenakan tidak ada persiapan kuat dan pendampingan.

Melatih keberanian dengan menghargai identitas diri dan menggunakan tumbuhan di sekitar sebagai alat belajar

Di sisi lain, kami juga mempertimbangkan Finlandia bisa sangat majunya dengan model pendidikan pemerdekaan seperti yang diusung Romo Mangun, tentulah tak lepas dari faktor keluarga. Keluarga di rumah yang secara konsisten memberikan ruang untuk anak belajar, mengeksplorasi, berpikir kritis, dan bertumbuh bahkan dalam keseharian mereka. Faktor terpenting yang justru tidak dimiliki kebanyakan anak-anak di kampung.

Maka sekarang kami terbentur antara apa yang kami pikir anak-anak butuhkan vs apa yang masyarakat pikir anak-anak mereka butuhkan. Dengan semangat berbasis aset masyarakat yang hendak kami terapkan, kami tidak ingin serta-merta menginfiltrasi kepercayaan pribadi tanpa melihat kebutuhan akademik di tengah ketertinggalan. Namun dalam pelaksanaannya, kami juga harus mempertimbangkan kapasitas dan potensi SDM lokal.

Kenapa harus guru lokal? Diantaranya tentu soal kesinambungan dan pemahaman guru yang lebih baik tentang anak-anak setempat. Namun yang lebih hakiki dari itu, bagaimana bisa kami menjalankan pendidikan yang berfokus kepada anak, tetapi kami meminta anak yang memahami bahasa gurunya? Saat ini kami selalu berusaha memakai bahasa Mek patah-patah ketika mengajar. Namun setiap kali mengalami kebuntuan bahasa lokal dan keluarlah instruksi bahasa Indonesia, air muka anak-anak sekejap berubah. Dari yang awalnya pupil mata dan mulut mereka terbuka lebar oleh tawa atau rasa penasaran, seketika menjadi tatapan kosong disertai gestur diam membatu. Sekelebat penonton yang tidak memahami situasi mungkin akan mencap anak-anak ini nakal karena diam melawan saat diminta melakukan sesuatu. Padahal, mereka benar-benar kosong dan bingung dengan apa yang kami ucapkan. Sampai akhirnya, guru sekolah minggu bantu menerjemahkan dan ekspresi anak-anak kembali cerah.

Tanpa Yanius guru lokal, anak-anak akan cepat korslet karena sulit mengerti bahasa Mek Putri yang patah-patah dan campur-campur bahasa Indonesia.

Saat mengalami situasi demikian, sebagai guru kami merasa gagal, namun terlebih frustasi manakala terjadi berulang kali. Seperti diberikan alarm kalau kami belum menjadi jembatan yang baik bagi anak-anak. Itu perasaan kami sebagai orang dewasa. Nah, bisa dibayangkan bagaimana perasaan anak-anak sewaktu disuntikkan ilmu yang benar-benar baru dalam bahasa alien yang tidak dipahami sel-sel kelabu otaknya? Belajar tidaklah jadi menyenangkan karena beban belajar mereka berlipat ganda. Memahami bahasa asing, ditambah mencerna informasi baru. Sama seperti kami, pasti mereka pernah juga diserang rasa gagal saat otak lebih sering korslet dan tidak mengerti. Maka menambah guru-guru ahli dari luar yang tidak berbahasa Mek Kos untuk mengajar masih kami urungkan.

Maka muncullah pertanyaan reflektif yang hendak kami bagikan kepada para penggiat pendidikan. Dengan jadwal rumah belajar yang karena ketersediaan waktu dari guru lokal masih 2x seminggu, bagaimana dapat menjembatani dua kebutuhan ini dengan arif?

Salah Kaprah! Menjadi Misionaris Era Arwen dan Aragon

Sejak memulai misi Kawan Kasih Tumbuh, secara perlahan entah sampai kapan kami menanggalkan titel sebagai guru sekolahan. Sebelumnya, seperti ada rasa mulia ketika orang bertanya pekerjaan kami. “Guru di Papua”, sudah lebih dari 6 tahun Adit menjawab demikian. Sering kami mendapat respon positif, decakan kagum atau heran akan profesi yang kami pilih. Ketika menjawab kami rasa ringan, tanpa perlu khawatir mendapat stigma. Bagaimana tidak, seluruh rakyat Indonesia mengakui bahwa guru adalah “pahlawan tanpa tanda jasa”. Apalagi kalau menjadi guru di pedalaman Papua, yang notabene paling tertinggal dalam hal pendidikan. Akan tetapi semenjak pindah ke Kosarek, kami mengalami krisis dalam mendefinisikan profesi kami. 

Figure 1 Bersama murid-murid SMP kami saat di Ob Anggen Bokondini, sekolah berkualitas di pedalaman Papua yang didirikan The Wisleys.

 

Di Kos kami jadi sepasang suami istri yang mencari kehidupan baru. Tidak ada orang yang kami kenal betul apalagi saudara. Tidak ada yayasan yang mengontrak atau menggaji kami untuk melakukan deretan deskripsi pekerjaan dan target. Kami menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dengan misi pemuridan di ranah pendidikan agar suatu hari lahirlah pemuda-pemudi yang berdaya dari desa. Namun dalam proses merintisnya yang perlahan mengikuti dinamika masyarakat, apakah status kami ini? 

Setahun belakangan kami bergerilya mencari dana untuk visi yang Tuhan taruh di keluarga kami. Berdua sebagai “program” planner dan merancang bajet. Adit mengambil peran banyak di support logistik dan Putri dalam hal keuangan. Setahun lalu di Jawa, kami menjadi humas dan sales yang “memasarkan” misi ini dengan berkunjung ke komunitas maupun ke individu-individu. Sejak menginjakkan kaki di Kosarek Oktober 2018 lalu, status kami bertambah menjadi masyarakat Kosarek. Kami membangun rumah misi untuk ditinggali, merangkai sendiri sistem listrik tenaga surya di rumah, belajar berkebun, melatih guru sekolah minggu dengan buku kontekstual, juga menjadi mantri sekaligus pendeta dadakan dengan mengobati dan mendoakan pasien yang sakit. Sebagai warga baru Kosarek, kami juga turut bergotong-royong dengan masyarakat lain meratakan gunung dengan sekop untuk perpanjangan lapangan terbang. Di samping terus belajar dan menggali pengetahuan terkait budaya dan bahasa Mek Kosarek yang susahnya bukan kepalang.  

Jadi, setahun belakangan kami kerja “palugada” apa lu mau gua ada ☺! Tukang bangunan, tukang listrik, fundraiser, humas, marketing, purchaser, mantri/suster, pendoa, guru, fasilitator masyarakat, murid bahasa Mek, etnografer, dan akhir-akhir ini kami bahkan diberi titel: Misionaris lokal (pakai kata lokal karena misionaris kebanyakan datang dari luar negeri)! Titel berat yang malas kami pikul. Karena pemahaman kami akan misionaris adalah penyebar Injil, tok. Sementara kami justru masih harus diinjili.

Figure 2 Jadi Mantri dadakan sejak tinggal di Kos.

Namun saat kami mulai bergaul dengan misionaris di Papua dan membaca buku-buku yang ditulis para misionaris perintis, ternyata kami dangkal dan salah kaprah mengenai peran misionaris! Hampir semua misionaris di pedalaman memiliki daftar peran dan deretan keahlian yang cukup panjang. Dari pilot, musisi, linguis, tukang kayu, ahli mekanik, tenaga medis, dsb, yang membuat kami merasa bak butiran debu. 

Misionaris perintis di Papua (era 70-an) bahkan berjalan dan tinggal berbulan-bulan di bawah tenda di pedalaman antah berantah. Hampir tidak ada satupun misonaris yang kami kenal mewartakan Injil tok. Karena misionaris adalah semua pekerja lintas budaya yang menggalang dana mereka sendiri untuk menjalankan panggilan misi yang berbeda-beda, namun dengan landasan sama yaitu KASIH ALLAH. Oleh sebab itu, ada dokter dan suster dari benua Amerika atau Eropa yang menanggalkan kenyamanan hidup di negara asalnya untuk tinggal bersama masyarakat di pedalaman yang tak tersentuh akses kesehatan. Ada pilot yang alih-alih terbang dengan maskapai bergengsi, malah memilih menerbangkan pasien dari pelosok-pelosok agar mendapatkan perawatan intensif di Rumah Sakit di kota. Bahkan mentor kami, Scotty Wisley yang merupakan pengembang masyarakat, mendirikan Sekolah Ob Anggen di kampung di Papua dan menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah yang sama dengan anak-anak pedalaman lainnya. Para misionaris terdahulu mengajarkan kami bahwa misi yang dilandasi kasih menanggalkan hak dan membutuhkan pengorbanan.  

Figure 3 Dengan mentor Scotty Wisley dan anaknya Arwen (murid kami di OA dulu) saat Putri menghadiri seminar yang mereka bawakan mengenai Tantangan Pendidikan di Daerah 3T (Terluar, Terpencil, Tertinggal).

Karenanya, seperti memikul kuk berat yang diiringi perasaan tak layak ketika Paman Scotty mengenalkan Adit dan Putri sebagai misionaris lokal yang menjalankan pemuridan lintas budaya lewat pendidikan di depan 800-an jemaat sebuah gereja di Jakarta. Bagi kalian penonton Lord of The Rings, mungkin kenal dengan Legolas, Arwen, dan Aragon? Scotty menyampaikan analogi yang membuat kami tercengang. “Jaman saya, Legolas, atau misionaris dari luar negeri hampir berakhir. Kini saatnya Aragon dan Arwen yang menjadi misionaris di tempat mereka sendiri. Dan yang bisa kalian lakukan adalah mendukung pemuridan yang dilakukan oleh misionaris-misionaris lokal agar bertahan.” Sekadar informasi, meski misionaris melakukan kerja sosial dan menyentuh hidup banyak orang, namun tidak mudah lho mengurus visa kerja mereka di negara ini. Prosesnya panjang, mahal, bahkan sampai ada misionaris yang terpaksa pulang ke negaranya karena isu visa. 

Figure 4 Putri sharing di sebuah gereja di Jakarta dengan latar belakang slide Uncle Scotty menampilkan foto 3 misionaris lokal (dari Jawa, Medan, dan Flores) yang saat ini mengajar di Ob Anggen.

Oleh sebab itu, di dunia misi kami merasa terlalu kecil dan belum bikin apa-apa untuk menyandang titel ini itu. Sungguh tidak pantas. Kembali, mentor kami yang lain, Pak Mike mengingatkan. Siapa sih yang benar-benar pantas untuk melakukan panggilan Tuhan dan merepresentasikan kasih Allah di tengah-tengah komunitas lintas budaya? Tidak ada satu pun dari kita yang sempurna dan luput dari kesalahan. Hanya karena kasih karunia saja kita diselamatkan dan dimampukan. Justru sebab itu, kita yang tak layak, dipanggil untuk menunjukkan kasih dan kebesaran-Nya kepada orang lain. 

Figure 5 Pak Mike, mentor kami seorang misionaris penerjemah bahasa Mek Kosarek dengan multiragam keahlian: musisi, ahli bangunan dan perkayuan, juga listrik. Pak Mike sedang mengajarkan Adit menginstal sistem listrik di rumah.

Skak mat. Kalimat itu mengangkat sekaligus menegur Putri yang masih suka dirasuk khawatir. “Saya tidak pantas karena masih memikirkan diri sendiri, keluarga sendiri. Misi itu berat, saya tidak akan sanggup (mungkin Dilan sanggup :P).” Mungkin diantara para kawan juga pernah bergumul yang sama saat harus memutuskan keluar dari zona nyaman dan “pergi menjangkau”? Sungguh amat manusiawi. Namun yang kami rasakan sejak memilih jalan ini, saat Tuhan memanggil, Tuhan pula yang memampukan dan menyediakan. Untuk para Arwen dan Aragon dimanapun berada, maju terus! 

 

Kelme Mati!… dan Keputusasaan Kami dengan Kematian Anak di Kosarek

Ya, Kelme berpulang menjadi berita terpedih kami saat kembali ke Kos setelah sebulan di Sentani. Berita itu pun disampaikan oleh pihak ketiga karena nenek Kelme bermain drama dan membohongi kami akibat takut menyampaikan duka itu. Saat turun pesawat dan berjumpa dengan nenek Enos yang mengurus Kelme, kami langsung menanyakan kabar Kelme. Tanpa rasa ragu, nenek menjawab Kelme sudah di kota bersama tantenya. Ada rasa sedih karena kami tidak bisa lagi menengok Kelme, tapi kami pikir mungkin di kota dia akan dapat perawatan jauh lebih baik. Kami percaya dan melewati hari pertama itu dengan tidak ada pertanyaan.  

Esok harinya bagai disambar halilintar di siang bolong, Putri betul-betul terpukul dan seluruh perasaan membuncah saat mendengar dari satu pemuda Wahaldak bahwa Kelme mati pada 3 Februari lalu. Rasa duka sudah pasti, namun juga bercampur rasa kecewa dan marah karena ada tipu dari nenek dan kakek Kelme. Kami mengirimkan pesan agar kakek Kelme berkenan untuk datang dan berbicara dengan kami. 

Esoknya kakek Kelme datang dan menceritakan kepergian Kelme dengan alasan anak itu meninggal karena tidak ada susu. Sejujurnya, hal ini sulit kami percaya karena kami pikir bayi mungil itu sudah melewati masa kritisnya. Sebelum kami pergi, usianya 7 minggu dan tubuhnya sudah berbalut daging. Di dalam honai kami lihat ia minum air tebu dengan rakusnya. Kami sudah contohkan kakek dan ayahnya Kelme cara buat susu ubi, selain cara seduh susu formula. Terus-terus kami kasih semangat untuk tetap kasih bubur pangkal (singkong), kwaning (ubi) dan kui (tebu) karena sufor terlalu mahal dan sulit didapat. Bahkan Kakek Kelme sendiri sudah menyerahkan anak itu ke gereja dan memberinya nama: Soarek yang artinya anak yatim piatu dalam bahasa Mek. Di budaya Kos, seorang anak tidak akan diserahkan ke gereja, diberi nama, dan dicatat sebagai anggota masyarakat kalau mereka belum yakin anak itu selamat. Maka sungguh kami terpukul sekali dengan kepergian Kelme. 

Dari pagi kami menyiapkan hati dengan Tuhan, meminta hikmat-Nya agar dapat menyikapi kematian Kelme dan kebohongan kakek nenek dengan kasih yang tegas (tough love). Puji Tuhan, Roh Kudus berkuasa sehingga meskipun Putri sempat menangis frustasi di depan Kakek Kelme, namun kami tidak membiarkan emosi berlarut-larut dan menguasai percakapan kami. Kami tutup pertemuan itu dengan doa agar kami bisa belajar dari kesalahan masing-masing dalam masalah ini. Kami berdoa agar tidak ada lagi Kelme yang lain dan agar hati kami juga bisa mengampuni serta tidak saling menyalahkan. 

Sore hari sepulang dari kebun Nenek Kelme singgah di rumah dan mengeluarkan pae (sayur lilin) dan pangkal dari nokennya. Melihat rupa nenek dengan senyumnya yang getir, mengembalikan ingatan Putri saat Nenek mengelus-elus Kelme sementara Putri dan Sebertina (mama ade Kelme) menyanyikan lagu sekolah minggu untuk Kelme dan mendoakannya di dalam honai kecil nenek. Istri saya tak kuasa menahan tangis lalu memeluk nenek erat-erat. Nenek masih tersenyum getir, tampak canggung, namun perlahan air mata turut membasahi pelupuk matanya. Pelukan mereka kian erat, saling menguatkan hati yang sama-sama hancur berduka. Setelah hati tenang, Nenek mulai berbicara, “Lukun pangkal telame, siro piyung. Mama ambil.. “ atau “Pagi hari (Kelme) makan bubur pangkal, siang dia pergi. Mamanya ambil.” Dengan kata lain, nenek percaya kalau kematian Kelme disebabkan oleh kuasa almarhumah mamanya. 

Beristirahat dalam tenang Kelme. Kami mengasihimu, bayi kuat.

Putri tidak membantah sepatah kata pun argumen Nenek. Fakta bahwa hampir semua masyarakat Kos terbenam dalam benturan dua kepercayaan (panteisme dan Kristen) yang lemah dalam proses inkulturasi, membuat kami memutuskan untuk tidak mengambil lahan perang ini karena kepercayaan tidak akan pernah berubah lewat adu argumen atau kotbah satu kali. 

Dalam perenungan kami yang terus bergulir hingga hari ini, beberapa kali kami sempat menyalahkan diri. Mungkin kami salah mengambil keputusan ketika tidak berusaha keras untuk “mendorong” adanya wet nurse atau donor ASI. Kami bertanya-tanya kenapa kami goyah dengan prinsip tidak mendatangkan sufor dan kurang “memaksa” untuk hanya berikan bubur ubi atau tebu bahkan di masa kritis Kelme  sekalipun. Apakah benar sufor adalah kunci yang dipercayai keluarga Kelme untuk membuatnya bertahan hidup sehingga ketika habis mereka tidak pikir untuk memberi lebih banyak asupan gizi dari pangan lokal yang kemudian berujung pada kematian Kelme. Setiap kali pertanyaan ini muncul, kami rasa gagal. Inikah konsekuensi dari saviour syndrome yang mungkin masih melekat di alam bawah sadar kami? ☹

Akan tetapi, duka kami akan kepergian Kelme bukanlah pokok tulisan ini. Kami ingin menyuarakan kulminasi dari keputusasaan kami berdua akan pokok pergumulan yang sebenarnya sebagai anggota masyarakat Kosarek, yaitu ISU KESEHATAN. Sebenarnya, kami sangat menyadari kapasitas dan keterbatasan kami berdua sehingga sejak di Sentani kami bertekad untuk memfokuskan beban perhatian dan tenaga untuk membangun 2 bangunan (pusat belajar dan rumah tinggal) hanya dengan membawa 1 tukang, belajar bahasa Mek, menjalankan pelatihan sekolah minggu, monitoring pelaksanaan SM di 6 kampung, serta beraktivitas sore dengan anak-anak. Sebenarnya itu pun sudah terlalu padat. 

Akan tetapi, Allah sepertinya menghendaki kami serius memikirkan ini. Hari keempat kami di Kosarek, seorang bapak dari Uldam datang dan meminta tetracyclin. Heran juga kami karena datang sudah tahu obat yang dibutuhkan secara spesifik. Bapak cerita istrinya, mama Neli, perdarahan banyak dari lubang rahim. Saya mulai bertanya lebih detil mengenai berapa lama perdarahan dan seperti apa darah keluar. Kami yang awam dunia kedokteran tentu takut memberi obat sembarangan terlebih untuk masalah perdarahan vaginal seperti ini. Kami menganjurkan untuk segera bawa Mama ke kota untuk pemeriksaan. Dengan lemas bapak menjawab tidak ada uang tiket. 

Bapak datang meminta obat tetracyclin untuk Mama Neli yang perdarahan

Hati kami terenyuh tapi lagi-lagi kami berpikir apakah memberi uang tiket penyelesaian terbaik. Karena sejatinya, mungkin ada belasan pasien lain yang saat itu juga harus diterbangkan darurat ke kota untuk pemeriksaan. Kami coba sarankan bapak untuk jual pham (babi) atau winang (ayam). Kalau dia jual winang betina kami bersedia membeli untuk jadi istri Chikos ayam jantan kami. 

Siang hari esoknya, Bapak datang menjual potongan kaki pham kepada kami. Ternyata Bapak mempertimbangkan masukan kami untuk bawa istri berobat ke Wamena. Potongan kaki pham yang hanya seberat 2 kg termasuk kuku kakinya itu tidak murah, 450 ribu. Namun harga tiket saja, 1 orang ke Wamena 750 ribu. Maka sebenarnya tidak ada alasan bagi kami membeli pham di kampung seharga biaya belanja bulanan kami di Sentani per orang, kalau bukan karena dorongan untuk mengirimkan mama Neli ke kota. 

 

Daging pham dijual untuk beli tiket berobat ke kota.

Hari kelima di Kos, hati kembali gelisah melihat Mira, adik pengasuh SM Anate yang lehernya kaku dan kakinya lemah jalan. Orang tua Mira yang berstatus kepala desa dan kerap pulang pergi ke kota tidak menjadikan Mira berpeluang lebih besar untuk dapat pengobatan yang baik meski sudah sakit sejak tahun lalu. Suami Anate yang saya jumpai sakit di tengah perjalanan kakinya pulang ke Kos dari Elelim saat saya berjalan kaki menuju Elelim ternyata menimbulkan rumor kalau ia dapat penyakit kiriman/kutukan orang. Akhirnya tiba di Kos, dia terbang kembali ke Wamena untuk berobat.  

Hari keenam di Kos, pengasuh SM Srikahe Kak Kandius mengabarkan saya kalau anak bungsunya meninggal Januari lalu karena batuk dan sesak nafas. Saat kami bertemu di lapangan terbang ia hendak berangkat ke Wamena membawa anak pertamanya berobat karena sakit yang sama. Saya lemas seketika. Kaget dan sedih mendengar lagi kabar duka. Terlebih dari Kandius, pengasuh yang sudah kami anggap keluarga. Sedikit kecewa karena kami tidak diinfokan lebih cepat, bahkan belum sempat mendoakan dan menyampaikan ungkapan duka. 

Sementara itu, tidak jauh dari tempat tinggal kami, tampak gagah berdiri Puskesmas dan deretan rumah petugas kesehatan bercat putih biru. Namun tengoklah mendekat, di lantai Puskesmas obat berserakan, kotoran manusia dimana-mana, anak-anak memainkan jarum suntik sebagai pistol-pistolan, dan rumah dokter sudah dialihfungsikan jadi sekretariat partai politik. Sulit sekali menutup mata dan mengabaikan masalah kesehatan ini. 

Bangunan Dinkes yang gagah namun kosong dan beralih fungsi jadi jamban dan sekretariat parpol.

Beberapa hari ini kami terus diterpa pertanyaan apa yang sebaiknya kami lakukan setelah berulang kali menyaksikan dan mendoakan kawan-kawan di Kosarek yang bergumul dengan penyakit dan kabar dukacita seperti ini? Apakah kami cukup hanya jadi kawan yang mendoakan dan bersimpati dalam duka? Apakah kami harus selalu andil untuk mencegah dan mengobati setiap penyakit masyarakat yang datang? Apakah dengan kami menyediakan obat-obatan dan menjelma jadi tenaga medis berbasis modul kesehatan adalah langkah yang sustain untuk menekan angka kematian di Kos? 

Pasti banyak yang berpikir kenapa kami tidak lapor ke Dinas Kesehatan Yahukimo. Jawaban kami: maaf, untuk sekarang mungkin hal itu bagaikan tindakan menjaring angin. Dua rekan seperjuangan di distrik lain, yaitu Mbak Ari dan Kakak Ence, sudah merasakan roller coaster neraka ketika mencari solusi ke Dinkes saat Distrik Samenaga mengalami “wabah” puluhan anak meninggal 2 tahun lalu. Aaargh.. susah sekali membicarakan isu ini tanpa rasa marah dan frustasi.

Di tengah kebuntuan, istri saya mengumpulkan angka kematian sejak Oktober 2018 dari 5 sekolah minggu. Data terkumpul: Kampung Nohomas 8 bayi/anak meninggal, Wahe 3 anak dan 2 dewasa, Wahaldak 1 bayi dan 1 dewasa, Srikahe 3 bayi/anak dan 2 dewasa, Hombuka 0. Masih ada 11 kampung lagi yang kami tidak dapat datanya. Sementara itu, otak saya terus melahirkan ide-ide gila tentang program kesehatan yang melibatkan masyarakat. Sedikitnya agar bisa membuat dokter mengunjungi Kosarek meski hanya sebulan sekali, termasuk pengadaan obat. Tidak ada ide yang terdengar pas saat ini. Hati kami masih tenggelam merana dan putus asa. 

Sial! Bermimpi Karena Pagesangan dan Papringan, Padahal…

Wah susah itu kalau kamu mulai pakai judul buka sekolah. Mulai itu dari perut, nanti baru yang lain bisa masuk, termasuk pendidikan. Toto Rahardjo – pendiri Sanggar Anak Alam (SALAM) Yogya.

Komentar lugas dari Pak Toto, yang sebelumnya pernah disampaikan secara lebih “ramah” oleh Ibu Wahya, istri beliau saat kami berguru kepada kedua pendiri Sanggar Anak Alam Yogya. Bukan hal yang baru kami dengar, sebenarnya. Namun, tak ada nyali dan daya untuk sebagian diri kami menjalankan pengembangan ekonomi masyarakat. Pasalnya, belajar jadi pendidik untuk anak-anak dan pengasuh sekolah minggu saja kami sambil hosa-hosa (ngap-ngapan :P). Akan tetapi, pengalaman benar-benar membuktikan. Ilmu hanya akan terserap dengan baik ketika perut kenyang.

Sekarang, karena kami masuk ke daerah terisolasi dimana geliat ekonomi amat rendah, kami tak bisa lagi mengelak. Beberapa bulan terakhir saat di Jawa tahun lalu kami meluaskan ruang belajar ke sektor pertanian, pengolahan pangan dan pengembangan masyarakat. Melalui riset dan rekomendasi rantai pertemanan, kami mengalami perjumpaan dengan gerakan-gerakan akar rumput hebat, seperti Sekolah Pagesangan, Pasar Papringan, Pijar Kasih Nusantara, Sodong Lestari, dan Tani Organik Merapi.

Sekolah Pagesangan: Baper dari Desa

Di sebuah percetakan digital di Sleman, kami bertemu dengan Ibu Diah Widuretno, pendiri Sekolah Pagesangan yang saat itu menjinjing ratusan buku bersampul hijau. Lebih dari 100 eksemplar buku yang ia tulis, Gesang di Lahan Gersang, selesai dicetak untuk didistribusikan kepada pemesan buku. Buku tersebut menuturkan perjalanan panjang Ibu Diah dan masyarakat Dusun Wintaos, Girimulyo memperjuangkan keberdikarian masyarakat dari desa. Kitab perjuangan dari gerakan mandiri bersama masyarakat itu kami beli satu untuk menjadi salah satu referensi baik KKT.

Diah Widuretno, pendiri Sekolah Pagesangan. Foto kredit: IG @sekolahpagesangan

Eh, adakah yang bertanya berapa jumlah guru dan murid di Sekolah Pagesangan? Sekolah Pagesangan bukan lembaga belajar sesuai definisi KBBI, yang sejatinya disempitkan dari makna sebenarnya. Secara etimologi, Bahasa Indonesia menyerap kata sekolah dari bahasa latin, schola. Artinya tempat yang memberikan pengajaran, sekumpulan orang yang diajar, dan waktu luang untuk belajar (etymonline.com). Sementara kata schola sendiri asalnya dari bahasa Yunani skhole yang artinya waktu luang, istirahat, yang biasa diisi dengan berbagai macam kegiatan yang disenangi. Sekolah Pagesangan kini mengadopsi makna sejatinya dari kata sekolah.

Memang, awalnya Ibu Diah bersama tiga teman memulai Sekolah Pagesangan dalam bentuk kelompok belajar. Setelah beberapa tahun berjalan, ia menyadari tidak banyak perubahan yang terjadi. Sekolah formal mulai bertumbuhan dan anak-anak mulai enggan terlibat dengan kegiatan yang dibuat. Klimaksnya anak-anak tetap pergi keluar dari kampung untuk mengadu nasib. Maka pendekatan pun diubah total.

Karawitan anak-anak Wintaos.

Siapa pernah ke Gunung Kidul pasti tahu betapa panas dan gersangnya tanah ini, bukan? Namun dari tanah inilah singkong, keladi, kelapa, dan kacang-kacangan tumbuh melimpah ruah. Lewat Sekolah Pagesangan, Ibu Diah mengajak anak-anak mengolah hasil bumi Desa Mulyo agar memiliki nilai tambah. Pergerakan pun meluas dengan menggaet kaum ibu dan bapak petani sebagai produsen. Sementara itu, anak-anak remaja dan Ibu Diah mengemas dan menjual hasil tani tadi secara online atau langsung ke pasar organik lokal di Yogyakarta.

Tanah gersang Dusun Wintaos, Gunung Kidul

Belakangan, masyarakat yang sempat terbuai dengan nasi, kembali lagi haus dengan ragam penganan lokal. Tepung mokaf, tepung jali, jewawut, kedelai hitam, kedelai putih, ketan hitam, beras hitam, kacang koro, hanyalah beberapa contoh hasil tani dan olahan yang dapat kami beli saat live in di Pagesangan bulan Mei tahun lalu.

Dalam kegiatan live in yang diikuti sekitar 40 orang tersebut, kami dipertemukan dengan jaringan pengusaha sumber daya lokal. Pasar Kamisan, petani kombucha, komunitas pangan sehat lokal, petani muda organik Sleman, pengusaha Gonagoni, pembuat sabun rumahan dan penggiat-penggiat pangan lokal dan sehat. Kami para penggiat muda dari kota, belajar dari ibu-ibu Desa Girimulyo membuat 10 ragam makanan dari hasil kebun khas Gunung Kidul. Mulai dari tiwul, bubur jali, jadah dan tempe koro.


Semburat wajah penuh bangga memancar ketika ibu-ibu di kampung menjadi guru mengajarkan kami murid kota yang bodoh dan hanya tahu instan. Anehnya, hari itu semua murid belajar dengan semangat berkobar saat mengolah jadah, jali, tempe, tiwul, gaplek. Bukankah itu hal yang paling hakiki dari semua program pengembangan masyarakat? Ketika kami yang datang dari berbagai latar belakang, namun punya ketertarikan yang sama akan ketahanan pangan lokal dan berkolaborasi setara dengan para petani yang semakin termarjinalkan.

Ibu-ibu yang terus tersenyum bangga dan tekun mengajar kami.

Buah ceri di atas es krim dari Sekolah Pagesangan ini adalah menyantap makanan yang kami masak bersama para Ibu. Perut pecah sudah. Makanan terlalu banyaaaak dan semua enak-enak. Favorit kami tentu saja bubur jali asin. Hahaha.. karena lidah Sunda dan Batak ini nggak bisa bohong. Harus berjuang dengan penganan manis-manis di Jawa. Kami sudah mulai pikir akan mengganti gula dengan garam juga kelapa parut dengan kelapa hutan (kalau musim).

Berbagai jenis penganan dan minuman dalam “Memanggil Cita Rasa Ndeso” yang digagas SP.

Saat live in, Adit menjadi teman serumah Mas Koen. Seorang petani muda dari Sleman yang tetap konsisten dengan jalur organik di tengah himpitan pembangunan urban dan ketidakjelasan nasib petani. Beliau menyemangati kami untuk mempertahankan pangan lokal. Sekaligus, mewanti-wanti bahwa sering tantangan berasal dari kaum petani sendiri yang akhirnya menyerah dan mempertanyakan motivasi para penggerak petani.

Putri serumah dengan Citra, yang bersama pacarnya, konsisten menjadi petani kombucha bahkan tape. Kami suka sekali kombucha, sayangnya tidak kontekstual untuk kami kembangkan di Papua. Apalagi dengan segala keribetan membawa ragi yang dilarang masuk lewat Wamena. Duh.

Mbak Citra, petani kombucha (sebelah kiri) Putri di rumah tinggal kami dengan masyarakat.

Saat berdiskusi malam dengan para pemuda-pemudi pejuang pangan sehat yang sebagian malah makan dari apa yang mereka tanam, kami merasa tersentil. Tersentil karena selama di Jogja kami gemar dengan yang namanya Ol*ve Fried Chicken (ayam goreng krispi khas Jogja dengan micin aduhai…hahaha). Alasan murahannya adalah… “kan nanti di kampung makan ubi dan keladi rebus lagi, sekarang yah bolelah kan gak sering-sering :P” Tapi betul, pertemuan ini cukup menampar kami dan memantik semangat untuk mulai bertanam dan setia dengan pangan lokal di kampung.

Sebagai acara pamungkas, hari terakhir diadakan Pasar Tani & Bazaar Pangan Ndeso. Berbagai macam jajanan dan masakan ndeso enak, manis, pedas, asin, ada di sini. Kami sangat terkesan dengan Murni, gadis remaja yang sudah bersama Ibu Diah sejak merintis Pagesangan selama 11 tahun. Ia menjual dengan lincah bahan pangan mentah kepada pelanggan. Ia pula yang mengatur stok dan mencatat keuangan dengan seksama. Tidak ada kesan kaku atau kikuk, melainkan dengan bangga dan luwes menjajakan hasil tanah desanya kepada pengunjung pasar. Pasar dilatari oleh alunan karawitan dengan iringan gamelan oleh remaja Sekolah Pagesangan. Sebagai MC acara adalah dua remaja dusun yang tidak pernah kehabisan kata dan guyon seru selama membawakan acara. Mengalir dan menghibur.

Keramaian di acara Cita Rasa Ndeso oleh Sekolah Pagesangan.

Di lini masa instagram @SekolahPagesangan, perubahan dan kemajuan yang diolah oleh remaja-remaja Sekolah Pagesangan ini semakin berkilau. Hasil produksi bumi dari dusun Wintaos terus bertambah dan beragam. Minyak kelapa, thiwul, berbagai jenis kacang-kacangan, tepung mocaf, sabun organik, tempe kacang koro, dan sudah ada kedai kecil di Yogya. Ah, super salut untuk Mbak Diah dan adik-adik jawara.

Tahun lalu, berbinar saya saat membaca sebuah caption dari video IG @sekolahpagesangan yang menjadi pembicara di Hari Remaja Internasional. “Kami adalah bagian remaja yang #baper (bawa perubahan), karena kami bangga menjadi generasi penerus petani dan wirausaha tani #banggajadipetani. Buat saya ini pesan yang powerful sekali dari anak muda.

Terbukti memang, sekembalinya ke kota baru-baru ini, SP juga didapuk sebagai salah satu CNN Heroes yang menurut kami amatlah pantas mereka menerimanya. Sekolah Pagesangan adalah guru panutan Kawan Kasih Tumbuh dalam meningkatkan kualitas hidup dan kemampuan berdaya dari desa. Hormat dan salut untuk SP 🙂

Revitalisasi Desa dari Tempat Buang Sampah

Semangat kami juga semakin tersuntik setelah bertemu dengan komunitas Spedagi di mana kami tinggal selama 2 malam di desa Ngadiprono, Parakan. Kami tercengang luar biasa menyaksikan masyarakat yang bergeliat karena sumber daya di kampungnya, meski awalnya potensi itu tidak ada yang menyadari. Permata yang tidak akan pernah muncul ke permukaan tanpa kesetiaan dari para fasilitator muda. Mereka yang notabene bukan orang Ngadiprono, namun sesederhana tinggal bersama masyarakat dan betul-betul menjadi masyarakat selama 1.5 tahun.

Kami sudah melihat hasil, memang tidak merasakan proses jatuh-bangun bersama masyarakat. Akan tetapi, melihat di hari pasar Papringan (bambu-bambuan – bahasa Jawa) ada 100 lebih vendor dari setiap rumah tangga menjajakan lebih dari 300 jenis jualan. Semua jenis jualan adalah panganan minuman/kerajinan lokal khas bahkan ada yang sudah hampir punah. Makanan yang dijual bebas msg, bebas kemasan plastik, bebas zat kimia dan yang pasti endeess. Nikmat, sedap, lezat, mamamia lah.

Jelas saja, hasilnya sehat dan super enak karena itulah yang fasilitator lokal ini lakukan selama 1.5 tahun (pada Mei 2018). Mbak Sisca, Mas Panji, Mbak Tini setiap hari tinggal bersama bapak-bapak dan ibu-ibu bukan untuk mengatur ide pasar tersebut tapi untuk mendampingi bagaimana menjaga kualitas, membangun sistem pasar yang mencakup 100 KK, dan mempromosikan pasar ini.

Para penggerak lain adalah Mas Singgih, yang juga penemu sepeda bambu Spedagi, sebagai pencetus awal gerakan kembali ke desa dan pasar bambu. Tak lupa, Mas Yudo yang mengelola warung makan Lik Cil, makanan sehat sederhana namun nikmat dari kampung. Sayang, kami baru sempat meneteskan liur saja melihat menu-menu rumahan yang tidak biasa-biasa di sosmed-nya.

Tim lengkap Pasar Papringan

Setiap hari tiga fasilitator ini bertamu dari dapur ke dapur. Mereka sudah bisa masuk keluar di setiap rumah masyarakat dengan luwes seperti keluarga. Kami juga melihat bagaimana proses mereka memastikan setiap rumah tangga berproduksi dengan baik sebelum paginya hasil olahan lokal dijajakan.

Mbak Tini (jilbab putih), Mbak Sisca (sweater hitam) fasilitator yang menginspirasi kami.

Setiap periode tertentu akan dilakukan uji makanan oleh tim fasilitator dan perwakilan masyarakat. Namun, masyarakat akan dibantu memikirkan apakah kualitas jajanan mereka sudah layak dijual di pasar. Setiap detil persiapan pasar mulai dari parkir, akses masuk, denah lincak (lapak) dirumuskan oleh masyarakat sendiri.

Tidak heran, pasar yang sudah berjalan 30 kali setiap hari minggu selapan kalender Jawa ini (2x setiap 35 hari, per bulan Mei 2018) bisa menghasilkan 60-120 juta rupiah dalam sekali pasar. Pembagian keuntungan dan operasional pasar ditentukan oleh masyarakat.

Bisa membayangkan bagaimana upaya awal membuat hutan bambu tempat buang anak dan kerajaan demit–demikian deskripsi warga–disulap menjadi oase ekonomi masyarakat desa? Sangat senang ketika melihat semua orang yang terlibat betul-betul capek tapi terlihat puas atas capaian dan bangga dengan identitas mereka sebagai warga desa Ngadiprono. Bukan hanya capek, banyak diantaranya yang lembur tidak tidur hingga subuh. Bergotong royong bersama keluarga masing-masing agar sajian untuk dijual waktu pasar masih segar dan panas dari tungku di dapur!

Begadang sampai pagi loh para bapak-bapak (dan ibu-ibu di ruangan lain) untuk menyiapkan.

Kami sempat berbincang dengan pemuda yang mulai kembali dan terlibat di desa karena pasar tersebut. Mereka punya pekerjaan di kota, namun mulai jengah dan tergerak untuk andil dalam pertumbuhan kampung halaman. Mulailah ada yang menjajakan keahlian cukur rambut, juga andil sebagai motor yang melincahkan Pasar Papringan.

Di tengah keramaian pasar bambu ini, kami bermimpi kalau di masa depan nanti ada geliat ekonomi dari kampung yang kami tinggali kini. Ada cita rasa lokal yang dipertahankan dan dinikmati berbagai kalangan. Ada masyarakat dan pemuda yang berdaya juang dari kampung dan enggan melirik ibu kota yang genit. Juga ada masyarakat yang mau berbagi rumah dan ilmunya kepada saudara-saudari dari luar namun bersemangat mempelajari budaya dan hasil olahan asli masyarakat .

Seperti ketika kami live in di rumah Pak Sam. Betapa beruntungnya kami mendengar langsung hal-hal yang memotivasi beliau “bergerak” dari pagi ke pagi untuk mengenalkan potensi dan kekuatan Desa Ngadiprono. Pun, Ibu Sam tidak hanya memasakkan kami makanan yang super lezat, seperti sego (nasi) jagung (sego terfavorit kami) dan lauk-pauk. Namun juga mengajar Putri masak batang keladi atau sayur lompong. Meski, kami sudah berasumsi bahwa tipe keladi yang ada di Kosarek berbeda dari yang ramai di Jawa. Tapi semangat berbagi ilmu masyarakat patutlah diacungi jempol.

Menyenangkan live in dengan keluarga Pak Sam

Diajarkan bikin lompong (sayur daun keladi) oleh Bu Sam.

Ah, banyak kali mimpi kami, ya. Padahal kami baru pendekatan, tapi PDKT kami kok terdengar agresif. Hahaha.. Padahal, kekuatan dan pengetahuan kami amat terbatas. Padahal, kampung kami terisolasi dan mahal biaya untuk distribusi barang. Padahal, kami masih sulit komunikasi dalam bahasa setempat. Padahal…. (bisa sampai ratusan padahal 🙂

Adooo… sial sudah! Pagesangan dan Papringan bikin kami bermimpi tinggi. Padahal banyak “padahal” di ujungnya. Bukan sekarang memang, tapi bolehlah didoakan agar di masa depan mimpi ini terealisasi. Karena dengan kesetiaan berjuang bersama para kawan dan jaringan yang kita punya, kami percaya suatu hari mimpi itu mendarat di kampung kita. Ada amin saudara-saudara?

Jangan Paksa Mereka Berhitung 10 Jari!

Mungkin belum banyak yang tahu kalau masyarakat di Pegunungan Papua memiliki konsep dan basis angka yang unik dan berbeda. Sangat lain dengan konsep angka Arab, China, Yunani atau negara barat umumnya. Yahudi memiliki angka basis 7, Arab basis 10, sementara di wilayah barat pegunungan Papua angka hanya berbasis 4. Sedangkan di Pegunungan timur Papua, seperti Yahukimo, angka berbasis 27.

Maka bisa bayangkan ketika ilmu Matematika Sekolah Dasar memaksakan konsep 10 jari untuk mengajarkan konsep angka kepada anak-anak dari budaya angka berbasis 27? Konsep angka menjadi sangat ambigu. Terlebih lagi, konsep angka di pegunungan Yahukimo dibantu pula dengan menandai bagian tubuh manusia. Cara mereka berhitung pun unik karena bukan dengan jari saja. Coba lihat di video peraga yang dibuat anak-anak ini.

Di dalam perjalanan mengitari Yahukimo di bulan Desember-Januari, saya masih memakai konsep 10 jari saat menguji kemampuan berhitung anak-anak yang kami temui. Namun, tidak ada satu pun yang menangkap konsep tambah apalagi kurang. Walau pun saya sudah memakai bahasa ibu untuk angka-angkanya, akan tetapi mereka tidak paham konsep jumlah atau numerical language. Sama gagalnya seperti sore ini ketika saya coba-coba menanyakan soal penjumlahan dalam bahasa Indonesia ke beberapa anak.

Syukurlah pertemuan singkat kami dengan (alm) Art dan Carol Clarke, misionaris di Lolat pada Februari tahun ini telah menginspirasi dan memberikan kami kunci jawaban atas tantangan mengajarkan konsep jumlah untuk anak pegunungan timur. “Anak kami sudah bertahun-tahun mengajar berhitung dan tidak berhasil, sampai dia menemukan harus pakai bagian tubuh untuk menjelaskan angka kepada anak-anak di Lolat.”

Maka dalam beberapa hari terakhir, saya sangat sibuk membuat flash card untuk metode eksperimental di mata pelajaran Matematika. Flash card yang saya buat berisi gambar posisi jari atau bagian tubuh yang menunjukkan angka dalam bahasa Mek. Saya baru mencoba sampai angka sa’oh (10). Kemudian, memakai kata ma’ro untuk tambah dan kata samaro untuk kurang. Menggunakan kartu-kartu tersebut, saya melakukan tes kepada anak-anak yang sudah mulai bosan main voli.

Hasilnya buat saya terkesan karena satu gadis cilik bernama Ola, berumur sekitar 7 tahun, sudah bisa menunjuk gambar dengan posisi jari orang Mek yang menunjukkan jawaban dari pertanyaan tom (4) ma’ro wilindi (3). Dengan cepat, dia menunjuk gambar flash yang menunjukkan posisi titik sa’ek (7). Sepengetahuan saya, anak berumur 7 di kelas 1 atau 2 memang sedang dalam penjumlahan angka 1-20. Dan untuk anak yang tidak pernah dapat perhatian dari orang dewasa, apalagi guru, menurut saya Ola sangat cerdas dalam konsep angka.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Kawan Kasih Tumbuh (@kawankasihtumbuh) on

Kembali hal ini mengafirmasi saya bahwa semua anak memiliki kecerdasan masing-masing di luar suku dan latar belakangnya. Hal yang membedakan adalah kesempatan dan perlakuan lingkungan pada masa tumbuh kembang anak. Sementara itu, bahasa ibu dan konsep budaya setempat lewat sebuah pendidikan kontekstual dan akar rumput terbukti jauh lebih efektif untuk mentransfer ilmu modern di tengah masyarakat tradisional.

Cahaya di mata Ola tidak berhasil menahan pandangan saya yang lekas teralihkan kepada puluhan anak yang bermain di pekarangan rumah kami. Mereka yang bermain sore ini hanya sebagian kecil anak dari satu dusun. Ada 7 dusun di Distrik Kosarek dengan masing-masing sekitar 200 anak atau ada 1400 anak seperti mereka. Saya mulai mengkalkulasi, bila SD sudah tidak jalan selama 15 tahun maka sudah lebih dari 1000 anak yang tidak bersekolah sama sekali dan saat ini sudah menjadi remaja atau orang dewasa tanpa mengenyam pendidikan.

Sebagian kecil anak yang bermain dengan Putri

Membayangkan bahwa Kosarek hanyalah 1 dari 51 distrik di Kabupaten Yahukimo, dan Yahukimo hanyalah satu dari belasan kabupaten di Papua yang masih terisolasi dari standar pendidikan dan kesehatan yang layak, maka bukan hanya 1400 anak Kosarek yang sebenarnya memiliki talenta seperti Ola. Ya, puluhan ribu potensi anak akhirnya terkubur di bawah angka merah iliterasi anak-anak di Papua.

Dengan kata lain, ketidakadilan ini juga menghilangkan satu generasi garam dan terang yang sejatinya tidak tergantikan oleh trilyunan uang dana desa atau Otsus yang menggelontori Papua. Perlu banyak intervensi Ilahi untuk menghadirkan perubahan di tanah ini. Bagaimana bisa dua orang awam yang penuh kekurangan dan keterbatasan menggarami dan menerangi lautan gelap penuh pembiaran?

Mari kita mulai dari Ola.

Screen Shot 2019-02-01 at 1.20.03 PM

Jurnal KKT: Hari Ke-10 (Rumah Baca)

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Kawan Kasih Tumbuh (@kawankasihtumbuh) on

Ini adalah kondisi ae (rumah baca) yang dulu adalah Puskesmas. Perlu perbaikan besar juga,namun kami akan mulai dari mengamankan lantai dari paku-pakuan dan tutup kembali dengan papan-papan.Doakan agar masyarakat mau kerja sama untuk memperbaiki ae ini.

Reading house that used to be a community health center. It needs a major renovation too, but we will start by making the floor safe from any nails and sharp things, then covering the holes with some used wood boards. Pray for the community’s willingness to work with us to repair and prepare the house for children learning space.

Jurnal KKT: Hari Ke-8 s.d 9 (23-24 Oktober 2018)

Mata besar,mulut lapar melihat panen buah merah (Foto 1).

Our big eyes and hungry mouth seeing red fruits harvest (Foto 1)

 

Esok harinya langsung ramas buah merah untuk makan siang (foto 2).

Squeezing the red fruit oil for lunch (photo 2).

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Kawan Kasih Tumbuh (@kawankasihtumbuh) on

Minggu sore adalah waktu yang ramai dimana hampir semua anak dari kampung Wahaldak ( kampung terdekat dari Pos Kosarek) berkumpul di depan rumah. Dengan modal frisbee dan hulahup Ibu Amy, kami bermain dengan mereka. Dari balita sampai mama-mama, laki-laki maupun perempuan semua senang bermain. Hari itu kami sadar jumlah anak-anak di Kosarek, bahkan dari 3 kampung terdekat saja (Wahaldak, Wahe,Nohibs) bukan main banyaknya. Oo..oo.. Kami mulai putar otak bagaimana urus ratusan anak ini, ya☺

Sunday afternoon is the time when most of the children in Wahaldek village (a village near Kosarek Pos) gathered in front of the house. With using Mrs. Amy’s frisbee and hula hoops, we played with them. From babies, mothers, young girls, and boys played together. From that day, we have just realized the number of children in Kosarek together with 3 nearest villages, (Wahaldek, Wahe,and Nohibs). So many of them! We were thinking of how we could handle hundreds of them.

Jurnal KKT: Hari ke-5 s.d 7 (20-22 Oktober 2018)

Reuni dengan Pak Aser dari Wahe, yang menjadi guide kami berjalan 4 hari dari Kosarek kembali ke Anggruk. Awalnya kami sedikit takut-takut menerima tawaran Pak Aser untuk menemani kami menembus belantara Ilion, namun bersyukur kami jalan dengan beliau. Bapak yang baik dan ternyata seorang gembala gereja.

Bersama jemaat Wahe, gereja yang berjarak 30 menit trekking dari pos Kosarek (rumah keluarga Martin). After church with Wahe congregation, a church located 30 min of trekking from Kosarek post (Martin’s house).

 

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Kawan Kasih Tumbuh (@kawankasihtumbuh) on


Advenchurch! Haha… Kata yang tepat menggambarkan kegiatan minggu pagi tadi. Mau ke gereja saja harus terpeleset di longsor,meniti batu licin,menyeberang sungai kecil.Namun kembali bersua dengan tatanan honai yang indah,masyarakat yang ramah,dan senandung khas pegunungan saat memuji yang maha kuasa. Di gereja kami juga senang sudah resmi dikenalkan kepada masyarakat dan mengenalkan diri secara singkat.Lega. Kami masih harus rapat dengan tokoh-tokoh gereja selasa nanti.Mohon doanya kawan agar kami bisa menyampaikan visi dengan baik dan jelas.

Advenchurch! Haha.. a right word to explain our Sunday morning. On the way to the church we got some land slide slips, walk on the slippery stones, and pass the small river. Nevertheless, to be back and meet the beautiful landscape of honai, friendly people, and congregation chanting in the church. We were officially introduced and introduce ourselves in the village. We are so relieved. Yet, we still have to meet church leaders in the next 2 days to cast our vision. Please pray for us!

Membela yang Mati, Menelantarkan yang Hidup

Langit mendung ditutupi awan putih kelabu saat kami bergerak menuju Wahaldak. Di belakang saya Adit berjalan cepat memikul beras 4 kilo sebagai tanda duka keluarga kami untuk keluarga Pak Enos, warga Wahaldak yang juga penginjil di kampung itu. Masih tergambar jelas di ingatan saya, kemarin anak perempuan kedua Pak Enos terbujur kaku di dalam honai dengan kulit yang mulai membiru. Di sebelahnya terduduk sang suami dengan pandangan nanar dan membisu saat bapa mertuanya menceritakan kepergian sang istri.

Dari penjelasan Pak Enos, cucu perempuannya lahir pukul 22.00. Entah ada masalah apa, namun tali pusar belum bisa diputus sehingga almarhumah memutuskan berjalan kaki dari atas bukit untuk turun ke rumah. Dalam perjalanan hingga sampai di Wahaldak, darah berwarna hitam terus mengucur deras. Pada dini hari pukul 3.00, akhirnya tali pusar dapat diputus, namun ibu tidak lagi kuat bertahan danmennggalkan suami serta keempat anaknya.

Dari titik kami berjalan, terlihat orang-orang duduk berkerumun juga berdiri di depan honai laki-laki besar (yawi). Kami tahu bahwa mereka sedang menyelesaikan masalah. Masalah pembunuhan terhadap anak perempuan bapak Enos.

Di depan, Anate menenteng semangkuk bubur dan dengan lincah menghantam semua lumpur dan kotoran babi dengan telapak kakinya yang keras. Sambil memegang erat gelas berisi bubur saring encer, saya berusaha agar tidak terbenam dalam timbunan lumpur tanah bercampur tai babi. Gagal. Tetap saja saya terpeleset dan lumpur kotoran babi itu mencoreng sepatu biru muda gaya-gaya hingga ke betis saya. Namun rasa malunya tidak sebanding saat puluhan pasang mata dari kerumunan di depan yawi dan honai-honai perempuan beralih kepada kami saat tiba di depan honai almarhumah. Kami disambut hangat oleh istri Pak Enos yang duduk menyaksikan penyelesaian adat dari muka honainya. Karena ingin menghindari kerumunan, kami segera masuk ke dalam honai dan menyampaikan rasa duka serta tujuan kedatangan.

“Mama, kelme (bayi perempuan) itu apa kabar? su ada yang mau kasih de susu kah?” “Belum, namanggel (anak perempuan).” Kami terhenyak. Ini sudah hari kedua, ternyata tidak ada perubahan dari kemarin. Pak Enos menghampiri kami dan meminta susu. Apa adanya kami bilang kami tidak punya susu formula. Hal yang kami sarankan adalah agar tanta atau mama ade yang sedang menyusui membagikan air susunya kepada bayi itu. Saran kami direspon dengan cepat, “Tidak bisa. Di sini tidak bisa orang lain kasih air susu. Kalau di bagian Welarek sana bisa.”

‘Kelme’ yang haus air

Kami lanjut kasih penjelasan soal manfaat ASI untuk bayi, lalu adanya aksi dari ibu-ibu di kota untuk berbagi ASI. Bahwa itu aman dan air susu tidak akan kurang meski dibagi. Mereka memberikan alasan tambahan, katanya memang bapak bayi itu punya kakak dan adik yang sedang menyusui, namun mereka takut. “Tidak tahu kenapa ee. Mereka takut kasih.” Kami coba simpulkan mungkin karena kasus ini dilihat sebagai pembunuhan dan mereka takut roh ibu yang meninggal itu akan balas dendam.

Kami baru memelajari bahwa di budaya Yahukimo pegunungan, setiap ibu yang meninggal saat melahirkan dianggap sebagai pembunuhan oleh suami. Pihak suami harus bayar denda sebanyak 10 babi belum termasuk uang puluhan juta. Alasannya, kalau ibu sehat, makan baik, kuat, tidak dibiarkan kerja berat oleh suami saat hamil maka pasti melahirkan lancar. Sebaliknya, kalau suami tidak bertanggung jawab merawat istri saat hamil, maka istri lemah dan bisa mati saat melahirkan. Rasionalisasi yang sebenarnya bisa dipahami, sesuai dengan prinsip suami SIAGA (Siap Antar Jaga) yang bahkan tidak berlaku di banyak budaya.

Saya kemudian bertanya kepada Anate, “Berarti saat istri melahirkan suami ada di samping untuk dampingi istri, ya?” “Suami tidak bisa lihat. Kalau istri melahirkan, suami harus pergi ke tempat lain. Ke kebun kah, cari orang yang jaga untuk dampingi istri. Baru bisa kembali saat anak sudah lahir.” Jawaban yang mematahkan asumsi saya atas suami SIAGA tadi. “Jadi, kalau ada masalah saat melahirkan, meski suami tidak boleh dekat dan bantudia akan tetap dituntut kalau ibu meninggal?” “Iya, itu pasti. Karena yang jaga kan tidak bisa dituntut.” Saya menyegel mulut saya dan berhenti bertanya.

Ibu Enos mengangkat sebuah noken usang yang digantung di pagar kandang babi di dalam honai. Di dalam honai perempuan, biasanya masyarakat ambil 1/3 area honai sebagai kandang untuk 1-2 ekor babi. Maka di dalam honai sempit itulah ibu, anak-anak perempuan dan anak laki-laki yang belum akil balig akan masak, makan, dan tidur bersama babi piaraan mereka. Tanpa bermaksud merendahkan, namun karena noken itu sudah tua dan amat kotor, saya sungguh tidak menyangka mereka menidurkan bayi itu di dalamnya.

Saat noken dibuka, untuk pertama kalinya kami melihat kelme dengan kulitnya yang masih merah telanjang. Tubuhnya besar, mungkin hampir 3 kilo dan parasnya cantik sekali. Namun kontras dengan itu, kami juga melihat lipatan-lipatan tubuhnya kotor dengan daki dan debu. Nenek menjelaskan ia belum sempat dilap atau dimandikan lagi setelah darah dibersihkan. Biasanya kami melihat noken bayi selalu dialas dengan selimut atau beberapa lapis kain. Namun ranjang kelme ini hanyalah noken berlapis satu kain tipis. Saat neneknya membuka noken lebar-lebar untuk menunjukkan bayi itu kepada kami, tangan bayi cantik itu gemetar dan matanya terbuka lebar. Dengan cepat saya meminta nenek untuk menutup kembali noken karena kelme kedinginan.

Seolah-olah bisa membaca pertanyaan yang muncul dari ekspresi kami kenapa kelme dibiarkan seperti itu. Nenek menjawab, “Aduh, kita semua sibuk ini. Lagi urus masalah. Jadi tidak sempat kasih mandi. Tidak ada yang urus dia.” Mama di sebelah saya menambahkan, “Iyo de pu nenek ini juga kemarin pingsan, baru bangun hari ini.”

Kemarin saat menangis haus dan lapar, karena tidak ada ibu yang mau beri ASI, anak itu disuapi singkong rebus yang ditumbuk halus-halus. Hari itu kami datang pukul 16.00, nenek bilang dia hanya diberikan air tebu satu kali. Saat saya tanya apa ada air panas untuk kelme juga untuk mencuci sendok yang akan kami pakai untuk menyuapi dia. Kembali dia jawab, “Kami sibuk ini jadi tidak sempat. Mak pobo orok (tidak ada air panas). Tidak ada waktu karena urus masalah.” Mama di sebelah saya menambahkan, “Ah, Tuhan juga lihat kita punya kondisi ini yang keterbatasan. Kita doakan saja. Dia tahu.”

Emosi saya bercampuk aduk melihat kondisi kelme dan jawaban dari nenek. Saya tarik nafas cukup dalam dan menenangkan hati saya sebelum mulai memimpin doa. Tidak sadar, suara saya mulai bergetar saat mengadu kepada-Nya. Air mata saya mulai mengalir pelan namun tidak henti-henti. Beberapa kali saya harus melap pipi yang penuh basah dengan tangan. Namun doa saya tidak terbata-bata, dengan terang saya meminta keadilan atas pemeliharaan dan pengasihan Tuhan untuk bayi yang berjuang hidup ini.

Lain dengan Adit. Mulai sejak noken dibuka, ia tidak dapat menahan rasa sedih, kalut, dan ganas yang saling menghantam di dalam. Dia urung masuk ke honai dan menyepi di bibir bukit. Saya dan Anate bertahan dan menyuapi bayi itu dengan air bubur. Waktu saya bayi, mama saya bilang saya diberikan air tajin ketika susu tidak ada, yaitu air rebusan beras. Namun saya tidak lagi mengikuti ilmu kesehatan ibu dan bayi. Salah-salah memberi kalau terjadi apa-apa dengan bayi itu maka akan terjadi lagi kasus pembunuhan. Maka kami coba dengan bubur nasi saring yang dicairkan lagi dengan air panas.

Entah kenapa hati saya meluap gembira saat melihat kelme menelan bubur cepat-cepat. Teringat saya dengan Eve keponakan saya yang sehat dan kuat makan. Saat disuapi, mulut Eve selalu mengejar-ngejar sendok berisi bubur. Sama seperti kelme. Tampak jelas bayi ini kelaparan karena ia terus membuka-buka mulutnya setelah menelan makanan. Setelah makan cukup banyak, ia mulai menolak. Kelme membuka lebar-lebar mulutnya, namun tidak lagi mencari sendok. Kala tidak ditemukannya apa yang dicari, ia mengisap-isap jempolnya sendiri. Dengan nikmat. Barulah kami sadar kalau ia haus dan mencari puting susu untuk diminum. Badan saya lemas dan hanya bisa terpaku saat menyaksikan kelme mengisap jempolnya seolah-olah itu adalah air susu yang sangat lezat. Seandainya… sungguh seandainya saya bisa menyusui 🙁

Langit sore berwarna kian kelabu. Ada sekitar 100 orang di luar honai dimana kelme berbaring sendiri dalam noken yang digantungdi pagar kandang babi. Semua orang berkerumun dengan serius dan antusias menyaksikan penyerahan babi sebagai proses bayar kepala atau denda. Namun, tidak ada satu pun yang memasakkan kelme air minum, berani memberikannya susu ibu, membersihkannya, atau menggendongnya. Menuntut denda dia yang mati “dibunuh” adalah masalah dunia pertama. Sementara bayi hidup berusia dua hari yang kedinginan dan lapar, masih bisa menunggu kedua pihak bicara panjang, menawar, hingga babi berpindah tangan.

Sebelum pulang kami menyaksikan puncak penyerahan 6 babi dari ayah kelme kepada bapak Enos mertuanya. Ketika tali babi itu diserahkan oleh sang suamisemua kulminasi emosi terpancar jelas dari wajah laki-laki berusia 30 tahunan itu. Marah, sedih, kecewa, kalah, takut, bercampur aduk dengan lega, bebas yang tertuang abstrak di air mukanya. Dan ketika tali babi tiba di genggaman Pak Enos, saya meresonansi sebuah luapan bahagia dari seluruh syaraf di mukanya yang bermekaran. Dilanjutkan dengan pelukan hangat dari mertua kepada menantunya, yang masih dibalas getir oleh sang menantu. Enam babi dan 10 juta. Kepala dibayar. Damai. Selesai.

Pelukan damai

Sebelum tiba di Kosarek kami menyampaikan bahwa tahun pertama ini penting untuk mempelajari hidup sebagai masyarakat Kosarek, lewat budaya dan bahasa. Namun saat diperhadapkan dengan budaya yang meremukkan hati dan membuat kami menangis berseru atas “keadilan” untuk kelme yang berlawanan dengan budaya setempat, timbul penolakan untuk memahami hal-hal di luar akal dan nurani kami. Meski kami sadar kedatangan kami ke tengah masyarakat tradisional bukanlah untuk menjadi pejuang keadilan dengan mengenakan kaca mata modern.Karenanya, tidak laiyang kami perlukan di sini adalah hikmat untuk menyikapi setiap situasi yang bertentangan dengan worldview kami.

Menjelang maghrib, awan hitam yang berat menggantung pada langit tak mampu lagi menahan butiran air. Akhirnya ia mengucur deras tidak putus-putus tepat setelah prosesi denda berakhir. Mungkinkah ini tanda bahwa alam pun menangis berduka?

Beradaptasi dengan Harapan Lintas Budaya

Barang-barang KKT, selain 4 tumpuk karton mie ABC milik kios kak Gerson, di tengah masyarakat

12 Oktober 2018

Kali kedua kami menginjak Distrik Kosarek, namun dengan air muka dan situasi yang berbeda. Kami tidak tampak kuyu kelelahan akibat berjalan kaki dua malam dari Angguruk. Kami tidak datang dengan sepatu berlumpur, menenteng tongkat kayu, dan memikul carrier kotor di punggung. Kali ini, saya dan Adit turun dari pesawat misi bersama Pak Mike dan Ibu Amy Martin, penerjemah Alkitab dalam bahasa lokal, dengan muka berseri-seri menurunkan ratusan kilo media dan alat belajar untuk kami manfaatkan.

Seperti biasa ketika pesawat mendarat, masyarakat akan berlari memenuhi lapangan terbang. Dengan tatapan-tatapan penasaran, mereka menanti siapa yang akan turun dari pesawat dan mengamati barang apa yang diturunkan. Akan terdengar decakan heran dari kerumunan atau sekedar mematung memperhatikan detil interaksi pilot, penumpang, dan pengangkut barang. Tidak akan ada yang beranjak pulang sebelum buntut pesawat mengempaskan angin kencang untuk take off. Momen itu adalah hiburan seru bagi anak-anak. Mereka akan dengan sengaja berdiri beberapa meter dari mesin untuk merasakan deru angin dari buntut si burung besi. Seketika pesawat lepas landas, satu persatu akan kembali ke pekerjaannya masing-masing.

Masyarakat yang sudah menanti di pinggir lapangan terbang.

Namun tiga hari setelah tanggal kami tibalah yang menjadi penanda kami sah menjadi anggota masyarakat Kosarek. Ketika Keluarga Martin pulang ke Sentani, usai mengenalkan kami dengan masyarakat dan mengajar kami basic knowledge on how to survive in Kos, Pak Mike melempar kata pamungkas, “Now you are ready to fly!” Sejujurnya, saya tidak tahu apakah kami siap, hanya... We just have to be ready. Now or never, they said.

Beradaptasi dengan Permintaan dan Tuntutan

Dari pengalaman beberapa tahun tinggal di kampung, kami sadar bahwa status guru, dokter, kepala desa, kepala distrik, gembala gereja, atau misionaris dipandang masyarakat sebagai empunya akses dan kuasa. Memang tidak sepenuhnya salah. Namun kadang, kuasa atau akses tersebut dimaknai tanpa batas, sehingga permintaan-permintaan masyarakat berangsur-angsur menjadi tuntutan. Dimulai dari hal yang sederhana dan mungkin untuk dikabulkan, hingga kadang diluar kemampuan atau area keahlian kami.

Hari itu sebelum pesawat lepas landas, Adit, Pak Mike dan Gerson sempat meluruskan perbedaan ekspektasi dari kehadiran kami (Adit dan Putri) untuk mendampingi guru PAUD dan pengasuh sekolah minggu. Malam sebelumnya kami berdiskusi dengan perwakilan gereja Pak Ananias dan menyampaikan karena keterbatasan kami dalam bahasa lokal dan pengenalan akan budaya, kami hendak mulai perlahan dari kampung yang terdekat lebih dulu agar lebih mudah didampingi. Maka gereja pun merekomendasikan tiga kampung terdekat, yaitu: Wahaldak, Wahae, dan Nohomas. Kami setuju.

Ternyata hal ini berbeda dari rencana awal, yang kami tidak sadari, bahwa PAUD akan dijalankan di kampung Wahae dan Sirikasi (3 jam jalan kaki dari pos Kosarek). Dari 7 kampung distrik Kos, Sirikasi adalah salah satu yang terjauh. Di fase awal lokasi yang jauh akan sulit jadi tantangan untuk memastikan secara rutin apakah ilmu pelatihan diterapkan sesuai harapan. Maka, jalan tengah yang diambil kami harus membuka pelatihan untuk semua kakak pengasuh sekolah minggu/PAUD dari 7 kampung: Wahae, Wahaldak, Nohomas, Uldam, Hombuka, Sirikasi, dan Malo. Karena mejadi tidak adil katanya kalau Sirikasi dilibatkan, sementara dusun Hombuka dan Uldam yang lebih dekat tidak diikutkan. Kami turut pada rasionalisasi tersebut dengan catatatan komitmen dan kesetiaan perwakilan kampung akan menjadi tolak ukur bagi kami untuk memberi pendampingan yang lebih intensif untuk PAUD/sekolah minggu mereka.

Meluruskan harapan mengenai PAUD & SM yang akan didampingi.

Agar pelatihan lebih efektif, kami menetapkan batasan maksimal 2 wakil dari tiap kampung. Namun di hari pertama pertemuan, ada 3 kampung yang datang lebih dari 2 perwakilan, 3 orang bahkan 5. Mereka semua meminta ikut pelatihan agar nanti memudahkan ketua dalam menentukan guru mana yang akan mengajar. Kami mulai bingung memfasilitasi pelatihan dimana pesertanya memenuhi satu rumah. Akhirnya kami melonggarkan ketetapan pelatihan dari 2 menjadi maksimal 3. Dengan pemikiran mungkin akan ada peserta yang tersaring komitmennya dan lambat laun mengundurkan diri. Meski akan jadi hadiah paling mengejutkan bagi kami apabila semua perwakilan setia dalam komitmennya.

Tersesat di Terjemahan

Masih soal tuntutan, di hari lain kami cukup frustasi terhadap seorang kakek yang beberapa kali mengunjungi rumah kami. Di pengalaman penghuni rumah sebelumnya, kakek yang masih memakai sabiyab (rotan) dan koteka ini dikatakan sering datang untuk meminta supermi atau barang dari kota. Ia cenderung berkeras untuk masuk rumah, lalu jika tidak mendapat barang yang memuaskan hatinya, ia bisa tidak beranjak pulang.

Suatu pagi saat hendak devosi, kami mendengar suara pintu diketuk. Adit beranjak membukakan pintu depan dan mendapati kakek tidak hanya berbicara tanpa putus dalam bahasa Mek, namun juga berusaha masuk ke rumah. Bayangan bahwa ia akan duduk lama di dalam karena kami tidak memberikan apa yang ia mau, mendorong kami untuk berlaku tegas. Adit dalam bahasa Indonesia menyampaikan kami butuh waktu untuk sembahyang pagi dan berkeras menutup pintu. Ia tidak membiarkan sang kakek masuk. Saya melihat ada sedikit ketegangan karena nada bicara kakek makin naik. Saat pintu tertutup kami merasa lega dan melanjutkan devosi.

Namun, ada perasaan aneh ketika bersaat teduh karena justru saya merasa ada yang salah dengan apa yang baru kami lakukan terhadap kakek. Ketakutan akan tuntutannya yang belum terjadi telah melahirkan praktik arogansi dari kami. Kami menganggap kakek adalah interupsi mengesalkan, lalu menutup pintu rumah karena ingin berdoa. Kenapa kami tidak melihat si kakek sebagai bagian dari interupsi Allah untuk kami perhatikan? Sehingga membukakan pintu, duduk, dan mendengar celoteh orang yang kami hindari adalah bagian dari ibadah kami yang harum di hadapan Sang Pencipta? Ada rasa malu, membayangkan diri seperti kaum farisi.

Memang akhirnya terbukti bahwa si kakek adalah intervensi dari Tuhan untuk kami. Karena selang beberapa jam, kakek kembali mengetuk pintu rumah. Mengunjungi kami kali kedua. Adit langsung membukakan pintu dan duduk sama-sama di depan. Saya mencoba menawarkan pisang, namun ditolak. Saat duduk bersama, kami masih tidak paham sepatah kata pun ucapan kakek. Ada beberapa anak-anak di sekitar yang turut menyaksikan kakek menggumam seperti marah-marah di sebelah Adit. Kami berdua berasumsi kakek tersinggung dan marah. Ia mengucapkan kata pesawat masuk, mungkinkah ia menyuruh kami pulang dengan pesawat? Kami sampaikan kepadanya kalau kami tidak mengerti apa yang ia bilang. Usaha lain yang kami lakukan adalah meminta anak-anak untuk menerjemahkan, tapi mereka menolak dan lari. Sepertinya mereka takut.

Teringat saya akan kamus aplikasi sederhana bahasa Mek yang saya salin dari Pak Mike. Saya mulai mencari beberapa kata yang ia sebut, namun tidak ada yang kami pahami. Beberapa menit berselang, pria berusia 80-an itu pun pergi. Saya merasa ganas dengan anak-anak yang masih berkerumun di situ. “Kalau kalian tidak mau bantu kami jelaskan apa yang kakek bilang, mungkin nanti akan ada masalah besar. Mungkin kami bikin salah, tapi kami tidak tahu. Dan mungkin juga kami harus keluar dari Kosarek, tidak jadi bikin kegiatan dengan anak-anak dan kakak pengasuh karena masalah yang kami tidak tahu. Dan itu karena tidak ada yang mau bantu jelaskan, seperti kalian ini.”Kalimat panjang dan menerkam itu keluar setelah seorang anak berkata, “Tidak mau bilang.” Mereka bukannya tidak tahu bahasa, tapi tidak mau bilang. Dengan rasa kecewa bercampur ganas, saya menutup pintu dan masuk ke rumah.

Beberapa menit kemudian pintu kembali diketuk, ternyata Bapak Thomas yang menjaga kios gereja datang bersama kakek. Pak Thomas bilang dia mau jelaskan apa yang kakek sampaikan sebelumnya. Kami senang sekali dan persilakan mereka masuk ke dalam. Kali ini kami sajikan keripik keladi sebagai suguhan. Meskipun kemudian kami merasa salah karena dengan gigi yang sudah jarang kakek kesulitan mengunyah keripik yang keras itu. Rasa salah berubah menjadi senyum saat kami melihat usaha kakek mengunyah apa yang kami sajikan. Suasana jadi lebih cair dan bergulirlah terjemahan-terjemahan dari semua percakapan kakek yang sebelumnya tidak kami mengerti.

Rumah mentor yang kami tempati saat ini adalah rumah gereja yang kakek ikut bangun dan pelihara sejak lama, jadi ketika kami menutup pintu ia merasa tersinggung. Kakek juga menyampaikan kalau pesawat masuk, mungkin mentor kami ada kirim barang seperti minyak atau beras dari Sentani untuk kami bagikan dengan dia. Menurut kakek, mentor kami bilang kepadanya kalau mereka adalah teman jadi meskipun mentor kami tidak ada, kakek bisa datang ke rumah ini dan ia bisa makan bersama-sama dengan kami bila kami ada makanan. Kalau kami ada minyak, beras, atau garam kami bisa bagikan juga untuknya. Karena kalau kakek minta-minta itu tidak baik, jadi apa yang kami ada, kami bisa kasih saja karena kakek ini teman dari mentor kami.

Hmm… tentu kami meragukan pernyataan itu diucapkan oleh mentor kami. Namun, kami terima saja dan meminta maaf kalau kami sempat bikin kakek tersinggung. Kemudian saya ke dapur membungkus beberapa sendok makan garam untuk diberikan kepada kakek. Kalau kami berlebih mungkin kami bisa bagikan satu bungkus, akan tetapi barang bawaan yang kami utamakan adalah buku-buku dan alat belajar, sehingga stok sembako yang kami bawa amatlah pas-pas. Dengan rasa sedikit malu saya bagi garam yang tidak seberapa itu dan ada rasa lega saat memandang kakek yang air mukanya berseri menerima sedikit garam.

Masyarakat bantu bawakan barang-barang kami ke rumah. Seandainya kami bawa lebih banyak garam atau supermie…

Setelah rekonsiliasi usai, kami berdua merasa lega seperti baru saja melakukan hal yang benar. Dan ternyata, Adit pun merasakan ada yang salah dengan respon pertama kami. Maka saat kakek datang kedua kali, ia dengan segera membuka pintu dan duduk mendengarkan kakek. Pfiuh… tidak akan pernah mudah, beradaptasi dengan harapan dan tuntutan lintas budaya. Hikmat… hikmat… ooh…hikmat.. turunlah dari langit.