foto kosarek 9

Jangan Paksa Mereka Berhitung 10 Jari!

Mungkin belum banyak yang tahu kalau masyarakat di Pegunungan Papua memiliki konsep dan basis angka yang unik dan berbeda. Sangat lain dengan konsep angka Arab, China, Yunani atau negara barat umumnya. Yahudi memiliki angka basis 7, Arab basis 10, sementara di wilayah barat pegunungan Papua angka hanya berbasis 4. Sedangkan di Pegunungan timur Papua, seperti Yahukimo, angka berbasis 27.

Maka bisa bayangkan ketika ilmu Matematika Sekolah Dasar memaksakan konsep 10 jari untuk mengajarkan konsep angka kepada anak-anak dari budaya angka berbasis 27? Konsep angka menjadi sangat ambigu. Terlebih lagi, konsep angka di pegunungan Yahukimo dibantu pula dengan menandai bagian tubuh manusia. Cara mereka berhitung pun unik karena bukan dengan jari saja. Coba lihat di video peraga yang dibuat anak-anak ini.

Di dalam perjalanan mengitari Yahukimo di bulan Desember-Januari, saya masih memakai konsep 10 jari saat menguji kemampuan berhitung anak-anak yang kami temui. Namun, tidak ada satu pun yang menangkap konsep tambah apalagi kurang. Walau pun saya sudah memakai bahasa ibu untuk angka-angkanya, akan tetapi mereka tidak paham konsep jumlah atau numerical language. Sama gagalnya seperti sore ini ketika saya coba-coba menanyakan soal penjumlahan dalam bahasa Indonesia ke beberapa anak.

Syukurlah pertemuan singkat kami dengan (alm) Art dan Carol Clarke, misionaris di Lolat pada Februari tahun ini telah menginspirasi dan memberikan kami kunci jawaban atas tantangan mengajarkan konsep jumlah untuk anak pegunungan timur. “Anak kami sudah bertahun-tahun mengajar berhitung dan tidak berhasil, sampai dia menemukan harus pakai bagian tubuh untuk menjelaskan angka kepada anak-anak di Lolat.”

Maka dalam beberapa hari terakhir, saya sangat sibuk membuat flash card untuk metode eksperimental di mata pelajaran Matematika. Flash card yang saya buat berisi gambar posisi jari atau bagian tubuh yang menunjukkan angka dalam bahasa Mek. Saya baru mencoba sampai angka sa’oh (10). Kemudian, memakai kata ma’ro untuk tambah dan kata samaro untuk kurang. Menggunakan kartu-kartu tersebut, saya melakukan tes kepada anak-anak yang sudah mulai bosan main voli.

Hasilnya buat saya terkesan karena satu gadis cilik bernama Ola, berumur sekitar 7 tahun, sudah bisa menunjuk gambar dengan posisi jari orang Mek yang menunjukkan jawaban dari pertanyaan tom (4) ma’ro wilindi (3). Dengan cepat, dia menunjuk gambar flash yang menunjukkan posisi titik sa’ek (7). Sepengetahuan saya, anak berumur 7 di kelas 1 atau 2 memang sedang dalam penjumlahan angka 1-20. Dan untuk anak yang tidak pernah dapat perhatian dari orang dewasa, apalagi guru, menurut saya Ola sangat cerdas dalam konsep angka.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Kawan Kasih Tumbuh (@kawankasihtumbuh) on

Kembali hal ini mengafirmasi saya bahwa semua anak memiliki kecerdasan masing-masing di luar suku dan latar belakangnya. Hal yang membedakan adalah kesempatan dan perlakuan lingkungan pada masa tumbuh kembang anak. Sementara itu, bahasa ibu dan konsep budaya setempat lewat sebuah pendidikan kontekstual dan akar rumput terbukti jauh lebih efektif untuk mentransfer ilmu modern di tengah masyarakat tradisional.

Cahaya di mata Ola tidak berhasil menahan pandangan saya yang lekas teralihkan kepada puluhan anak yang bermain di pekarangan rumah kami. Mereka yang bermain sore ini hanya sebagian kecil anak dari satu dusun. Ada 7 dusun di Distrik Kosarek dengan masing-masing sekitar 200 anak atau ada 1400 anak seperti mereka. Saya mulai mengkalkulasi, bila SD sudah tidak jalan selama 15 tahun maka sudah lebih dari 1000 anak yang tidak bersekolah sama sekali dan saat ini sudah menjadi remaja atau orang dewasa tanpa mengenyam pendidikan.

Sebagian kecil anak yang bermain dengan Putri

Membayangkan bahwa Kosarek hanyalah 1 dari 51 distrik di Kabupaten Yahukimo, dan Yahukimo hanyalah satu dari belasan kabupaten di Papua yang masih terisolasi dari standar pendidikan dan kesehatan yang layak, maka bukan hanya 1400 anak Kosarek yang sebenarnya memiliki talenta seperti Ola. Ya, puluhan ribu potensi anak akhirnya terkubur di bawah angka merah iliterasi anak-anak di Papua.

Dengan kata lain, ketidakadilan ini juga menghilangkan satu generasi garam dan terang yang sejatinya tidak tergantikan oleh trilyunan uang dana desa atau Otsus yang menggelontori Papua. Perlu banyak intervensi Ilahi untuk menghadirkan perubahan di tanah ini. Bagaimana bisa dua orang awam yang penuh kekurangan dan keterbatasan menggarami dan menerangi lautan gelap penuh pembiaran?

Mari kita mulai dari Ola.

Tags: No tags

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *