Kelme Mati!… dan Keputusasaan Kami dengan Kematian Anak di Kosarek

Ya, Kelme berpulang menjadi berita terpedih kami saat kembali ke Kos setelah sebulan di Sentani. Berita itu pun disampaikan oleh pihak ketiga karena nenek Kelme bermain drama dan membohongi kami akibat takut menyampaikan duka itu. Saat turun pesawat dan berjumpa dengan nenek Enos yang mengurus Kelme, kami langsung menanyakan kabar Kelme. Tanpa rasa ragu, nenek menjawab Kelme sudah di kota bersama tantenya. Ada rasa sedih karena kami tidak bisa lagi menengok Kelme, tapi kami pikir mungkin di kota dia akan dapat perawatan jauh lebih baik. Kami percaya dan melewati hari pertama itu dengan tidak ada pertanyaan.  

Esok harinya bagai disambar halilintar di siang bolong, Putri betul-betul terpukul dan seluruh perasaan membuncah saat mendengar dari satu pemuda Wahaldak bahwa Kelme mati pada 3 Februari lalu. Rasa duka sudah pasti, namun juga bercampur rasa kecewa dan marah karena ada tipu dari nenek dan kakek Kelme. Kami mengirimkan pesan agar kakek Kelme berkenan untuk datang dan berbicara dengan kami. 

Esoknya kakek Kelme datang dan menceritakan kepergian Kelme dengan alasan anak itu meninggal karena tidak ada susu. Sejujurnya, hal ini sulit kami percaya karena kami pikir bayi mungil itu sudah melewati masa kritisnya. Sebelum kami pergi, usianya 7 minggu dan tubuhnya sudah berbalut daging. Di dalam honai kami lihat ia minum air tebu dengan rakusnya. Kami sudah contohkan kakek dan ayahnya Kelme cara buat susu ubi, selain cara seduh susu formula. Terus-terus kami kasih semangat untuk tetap kasih bubur pangkal (singkong), kwaning (ubi) dan kui (tebu) karena sufor terlalu mahal dan sulit didapat. Bahkan Kakek Kelme sendiri sudah menyerahkan anak itu ke gereja dan memberinya nama: Soarek yang artinya anak yatim piatu dalam bahasa Mek. Di budaya Kos, seorang anak tidak akan diserahkan ke gereja, diberi nama, dan dicatat sebagai anggota masyarakat kalau mereka belum yakin anak itu selamat. Maka sungguh kami terpukul sekali dengan kepergian Kelme. 

Dari pagi kami menyiapkan hati dengan Tuhan, meminta hikmat-Nya agar dapat menyikapi kematian Kelme dan kebohongan kakek nenek dengan kasih yang tegas (tough love). Puji Tuhan, Roh Kudus berkuasa sehingga meskipun Putri sempat menangis frustasi di depan Kakek Kelme, namun kami tidak membiarkan emosi berlarut-larut dan menguasai percakapan kami. Kami tutup pertemuan itu dengan doa agar kami bisa belajar dari kesalahan masing-masing dalam masalah ini. Kami berdoa agar tidak ada lagi Kelme yang lain dan agar hati kami juga bisa mengampuni serta tidak saling menyalahkan. 

Sore hari sepulang dari kebun Nenek Kelme singgah di rumah dan mengeluarkan pae (sayur lilin) dan pangkal dari nokennya. Melihat rupa nenek dengan senyumnya yang getir, mengembalikan ingatan Putri saat Nenek mengelus-elus Kelme sementara Putri dan Sebertina (mama ade Kelme) menyanyikan lagu sekolah minggu untuk Kelme dan mendoakannya di dalam honai kecil nenek. Istri saya tak kuasa menahan tangis lalu memeluk nenek erat-erat. Nenek masih tersenyum getir, tampak canggung, namun perlahan air mata turut membasahi pelupuk matanya. Pelukan mereka kian erat, saling menguatkan hati yang sama-sama hancur berduka. Setelah hati tenang, Nenek mulai berbicara, “Lukun pangkal telame, siro piyung. Mama ambil.. “ atau “Pagi hari (Kelme) makan bubur pangkal, siang dia pergi. Mamanya ambil.” Dengan kata lain, nenek percaya kalau kematian Kelme disebabkan oleh kuasa almarhumah mamanya. 

Beristirahat dalam tenang Kelme. Kami mengasihimu, bayi kuat.

Putri tidak membantah sepatah kata pun argumen Nenek. Fakta bahwa hampir semua masyarakat Kos terbenam dalam benturan dua kepercayaan (panteisme dan Kristen) yang lemah dalam proses inkulturasi, membuat kami memutuskan untuk tidak mengambil lahan perang ini karena kepercayaan tidak akan pernah berubah lewat adu argumen atau kotbah satu kali. 

Dalam perenungan kami yang terus bergulir hingga hari ini, beberapa kali kami sempat menyalahkan diri. Mungkin kami salah mengambil keputusan ketika tidak berusaha keras untuk “mendorong” adanya wet nurse atau donor ASI. Kami bertanya-tanya kenapa kami goyah dengan prinsip tidak mendatangkan sufor dan kurang “memaksa” untuk hanya berikan bubur ubi atau tebu bahkan di masa kritis Kelme  sekalipun. Apakah benar sufor adalah kunci yang dipercayai keluarga Kelme untuk membuatnya bertahan hidup sehingga ketika habis mereka tidak pikir untuk memberi lebih banyak asupan gizi dari pangan lokal yang kemudian berujung pada kematian Kelme. Setiap kali pertanyaan ini muncul, kami rasa gagal. Inikah konsekuensi dari saviour syndrome yang mungkin masih melekat di alam bawah sadar kami? ☹

Akan tetapi, duka kami akan kepergian Kelme bukanlah pokok tulisan ini. Kami ingin menyuarakan kulminasi dari keputusasaan kami berdua akan pokok pergumulan yang sebenarnya sebagai anggota masyarakat Kosarek, yaitu ISU KESEHATAN. Sebenarnya, kami sangat menyadari kapasitas dan keterbatasan kami berdua sehingga sejak di Sentani kami bertekad untuk memfokuskan beban perhatian dan tenaga untuk membangun 2 bangunan (pusat belajar dan rumah tinggal) hanya dengan membawa 1 tukang, belajar bahasa Mek, menjalankan pelatihan sekolah minggu, monitoring pelaksanaan SM di 6 kampung, serta beraktivitas sore dengan anak-anak. Sebenarnya itu pun sudah terlalu padat. 

Akan tetapi, Allah sepertinya menghendaki kami serius memikirkan ini. Hari keempat kami di Kosarek, seorang bapak dari Uldam datang dan meminta tetracyclin. Heran juga kami karena datang sudah tahu obat yang dibutuhkan secara spesifik. Bapak cerita istrinya, mama Neli, perdarahan banyak dari lubang rahim. Saya mulai bertanya lebih detil mengenai berapa lama perdarahan dan seperti apa darah keluar. Kami yang awam dunia kedokteran tentu takut memberi obat sembarangan terlebih untuk masalah perdarahan vaginal seperti ini. Kami menganjurkan untuk segera bawa Mama ke kota untuk pemeriksaan. Dengan lemas bapak menjawab tidak ada uang tiket. 

Bapak datang meminta obat tetracyclin untuk Mama Neli yang perdarahan

Hati kami terenyuh tapi lagi-lagi kami berpikir apakah memberi uang tiket penyelesaian terbaik. Karena sejatinya, mungkin ada belasan pasien lain yang saat itu juga harus diterbangkan darurat ke kota untuk pemeriksaan. Kami coba sarankan bapak untuk jual pham (babi) atau winang (ayam). Kalau dia jual winang betina kami bersedia membeli untuk jadi istri Chikos ayam jantan kami. 

Siang hari esoknya, Bapak datang menjual potongan kaki pham kepada kami. Ternyata Bapak mempertimbangkan masukan kami untuk bawa istri berobat ke Wamena. Potongan kaki pham yang hanya seberat 2 kg termasuk kuku kakinya itu tidak murah, 450 ribu. Namun harga tiket saja, 1 orang ke Wamena 750 ribu. Maka sebenarnya tidak ada alasan bagi kami membeli pham di kampung seharga biaya belanja bulanan kami di Sentani per orang, kalau bukan karena dorongan untuk mengirimkan mama Neli ke kota. 

 

Daging pham dijual untuk beli tiket berobat ke kota.

Hari kelima di Kos, hati kembali gelisah melihat Mira, adik pengasuh SM Anate yang lehernya kaku dan kakinya lemah jalan. Orang tua Mira yang berstatus kepala desa dan kerap pulang pergi ke kota tidak menjadikan Mira berpeluang lebih besar untuk dapat pengobatan yang baik meski sudah sakit sejak tahun lalu. Suami Anate yang saya jumpai sakit di tengah perjalanan kakinya pulang ke Kos dari Elelim saat saya berjalan kaki menuju Elelim ternyata menimbulkan rumor kalau ia dapat penyakit kiriman/kutukan orang. Akhirnya tiba di Kos, dia terbang kembali ke Wamena untuk berobat.  

Hari keenam di Kos, pengasuh SM Srikahe Kak Kandius mengabarkan saya kalau anak bungsunya meninggal Januari lalu karena batuk dan sesak nafas. Saat kami bertemu di lapangan terbang ia hendak berangkat ke Wamena membawa anak pertamanya berobat karena sakit yang sama. Saya lemas seketika. Kaget dan sedih mendengar lagi kabar duka. Terlebih dari Kandius, pengasuh yang sudah kami anggap keluarga. Sedikit kecewa karena kami tidak diinfokan lebih cepat, bahkan belum sempat mendoakan dan menyampaikan ungkapan duka. 

Sementara itu, tidak jauh dari tempat tinggal kami, tampak gagah berdiri Puskesmas dan deretan rumah petugas kesehatan bercat putih biru. Namun tengoklah mendekat, di lantai Puskesmas obat berserakan, kotoran manusia dimana-mana, anak-anak memainkan jarum suntik sebagai pistol-pistolan, dan rumah dokter sudah dialihfungsikan jadi sekretariat partai politik. Sulit sekali menutup mata dan mengabaikan masalah kesehatan ini. 

Bangunan Dinkes yang gagah namun kosong dan beralih fungsi jadi jamban dan sekretariat parpol.

Beberapa hari ini kami terus diterpa pertanyaan apa yang sebaiknya kami lakukan setelah berulang kali menyaksikan dan mendoakan kawan-kawan di Kosarek yang bergumul dengan penyakit dan kabar dukacita seperti ini? Apakah kami cukup hanya jadi kawan yang mendoakan dan bersimpati dalam duka? Apakah kami harus selalu andil untuk mencegah dan mengobati setiap penyakit masyarakat yang datang? Apakah dengan kami menyediakan obat-obatan dan menjelma jadi tenaga medis berbasis modul kesehatan adalah langkah yang sustain untuk menekan angka kematian di Kos? 

Pasti banyak yang berpikir kenapa kami tidak lapor ke Dinas Kesehatan Yahukimo. Jawaban kami: maaf, untuk sekarang mungkin hal itu bagaikan tindakan menjaring angin. Dua rekan seperjuangan di distrik lain, yaitu Mbak Ari dan Kakak Ence, sudah merasakan roller coaster neraka ketika mencari solusi ke Dinkes saat Distrik Samenaga mengalami “wabah” puluhan anak meninggal 2 tahun lalu. Aaargh.. susah sekali membicarakan isu ini tanpa rasa marah dan frustasi.

Di tengah kebuntuan, istri saya mengumpulkan angka kematian sejak Oktober 2018 dari 5 sekolah minggu. Data terkumpul: Kampung Nohomas 8 bayi/anak meninggal, Wahe 3 anak dan 2 dewasa, Wahaldak 1 bayi dan 1 dewasa, Srikahe 3 bayi/anak dan 2 dewasa, Hombuka 0. Masih ada 11 kampung lagi yang kami tidak dapat datanya. Sementara itu, otak saya terus melahirkan ide-ide gila tentang program kesehatan yang melibatkan masyarakat. Sedikitnya agar bisa membuat dokter mengunjungi Kosarek meski hanya sebulan sekali, termasuk pengadaan obat. Tidak ada ide yang terdengar pas saat ini. Hati kami masih tenggelam merana dan putus asa. 

Tags: No tags

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *