“Kami ada masukan untuk Adit dan Putri. Kampung A belum mau gabung (di rumah belajar, red) karena belum ada papan tulis hitam untuk mereka catat pelajaran. Harusnya, yang mereka mau itu belajar Bahasa Indonesia, baca, tulis, perkalian, dan pembagian. Sekarang ini kan masih latih-latih saja toh. Tidak usah banyak latih-latih langsung belajar itu saja.” Percakapan dengan Bapak S seorang tokoh di kampung setelah 3x aktivitas belajar per kampung berlangsung.
Bukan masukan yang mengagetkan untuk kami. Karena sejak 2012 mengajar di kampung lain di Papua pun, tuntutan masyarakat sama: Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Komputer. Pelajaran lain di luar itu, dianggap buang waktu dan tidak ada manfaatnya. Di satu sisi kami bisa memahami kenapa masyarakat sangat butuh ilmu modern di atas. Karena secepatnya anak-anak bisa bahasa Indonesia dan calistung, mereka akan dikirim ke kota untuk ujian dan dapat ijasah. Ijasah adalah koentji kemana saja. Koentji masuk pintu SMP, SMA, Universitas, jadi pegawai atau terjun ke politik. Pendidikan bertujuan mencapai kemakmuran setinggi-tingginya.
Sepertinya ini bukan hanya relevan di perkampungan di Papua, melainkan masih jadi arus utama pendidikan di level urban ibu kota yang berkiblat pada model China. Dalam artikel Haidar Bagir yang baru-baru ini viral, dikatakan mencetak ahli-ahli yang mengejar kesuksesan ekonomi di pasar global yang materialistis.
Saat bercakap-cakap dengan Bapak S, tentulah sulit kami menjelaskan dalam bahasa Indonesia sederhana bahwa di dunia pendidikan sekarang ada “agama” Finlandia dan “agama” Singapura/China. Finlandia menekankan pada proses, pengembangan potensi dan kreativitas, keterampilan berpikir tinggi lewat pembelajaran kontekstual berbasis aktivitas. Sementara China, berfokus mencetak pekerja yang mengejar pertumbuhan ekonomi. Meski menurut Bagir lagi, negara ini sudah mulai mengoreksi pendekatannya.
Kami tidak berusaha menjelaskan “agama” mana yang lebih kami percaya. Karena melihat realita di lapangan, guru yang tidak pernah mengajar, telah membuat anak-anak yang usianya setara siswa SD dan SMP merasa malu dan rendah diri akibat tertinggal jauh dalam kemampuan akademik. Badan besar, usia menjelang remaja, namun menulis rasa berat, baca terbata-bata, tidak tahu bahasa Indonesia, terlebih perkalian dan pembagian. Itu bahaya, kata masyarakat. Karena itulah, kami memahami kalau bapak S yang adalah tokoh yang sangat kami hormati di kampung tadi mengusulkan percepatan ilmu.
Akan tetapi, kami juga berpikir akibat dari percepatan inilah, kami bertemu dengan pemimpin-pemimpin, kepala bidang, anak-anak mahasiswa Papua yang membaca dengan mengeja, membaca tapi tidak paham, atau lemah dalam matematika dasar. Atau saat kami mengunjungi asrama pelajar Papua di Bandung, beberapa mahasiswa kami temui dalam keadaan teler dan kemudian kami tahu putus kuliah. Mohon dicamkan, tidak semua hal ini terjadi di kalangan mahasiswa Papua. Namun, sering terdengar isu kejut budaya ini dikarenakan tidak ada persiapan kuat dan pendampingan.
Di sisi lain, kami juga mempertimbangkan Finlandia bisa sangat majunya dengan model pendidikan pemerdekaan seperti yang diusung Romo Mangun, tentulah tak lepas dari faktor keluarga. Keluarga di rumah yang secara konsisten memberikan ruang untuk anak belajar, mengeksplorasi, berpikir kritis, dan bertumbuh bahkan dalam keseharian mereka. Faktor terpenting yang justru tidak dimiliki kebanyakan anak-anak di kampung.
Maka sekarang kami terbentur antara apa yang kami pikir anak-anak butuhkan vs apa yang masyarakat pikir anak-anak mereka butuhkan. Dengan semangat berbasis aset masyarakat yang hendak kami terapkan, kami tidak ingin serta-merta menginfiltrasi kepercayaan pribadi tanpa melihat kebutuhan akademik di tengah ketertinggalan. Namun dalam pelaksanaannya, kami juga harus mempertimbangkan kapasitas dan potensi SDM lokal.
Kenapa harus guru lokal? Diantaranya tentu soal kesinambungan dan pemahaman guru yang lebih baik tentang anak-anak setempat. Namun yang lebih hakiki dari itu, bagaimana bisa kami menjalankan pendidikan yang berfokus kepada anak, tetapi kami meminta anak yang memahami bahasa gurunya? Saat ini kami selalu berusaha memakai bahasa Mek patah-patah ketika mengajar. Namun setiap kali mengalami kebuntuan bahasa lokal dan keluarlah instruksi bahasa Indonesia, air muka anak-anak sekejap berubah. Dari yang awalnya pupil mata dan mulut mereka terbuka lebar oleh tawa atau rasa penasaran, seketika menjadi tatapan kosong disertai gestur diam membatu. Sekelebat penonton yang tidak memahami situasi mungkin akan mencap anak-anak ini nakal karena diam melawan saat diminta melakukan sesuatu. Padahal, mereka benar-benar kosong dan bingung dengan apa yang kami ucapkan. Sampai akhirnya, guru sekolah minggu bantu menerjemahkan dan ekspresi anak-anak kembali cerah.
Saat mengalami situasi demikian, sebagai guru kami merasa gagal, namun terlebih frustasi manakala terjadi berulang kali. Seperti diberikan alarm kalau kami belum menjadi jembatan yang baik bagi anak-anak. Itu perasaan kami sebagai orang dewasa. Nah, bisa dibayangkan bagaimana perasaan anak-anak sewaktu disuntikkan ilmu yang benar-benar baru dalam bahasa alien yang tidak dipahami sel-sel kelabu otaknya? Belajar tidaklah jadi menyenangkan karena beban belajar mereka berlipat ganda. Memahami bahasa asing, ditambah mencerna informasi baru. Sama seperti kami, pasti mereka pernah juga diserang rasa gagal saat otak lebih sering korslet dan tidak mengerti. Maka menambah guru-guru ahli dari luar yang tidak berbahasa Mek Kos untuk mengajar masih kami urungkan.
Maka muncullah pertanyaan reflektif yang hendak kami bagikan kepada para penggiat pendidikan. Dengan jadwal rumah belajar yang karena ketersediaan waktu dari guru lokal masih 2x seminggu, bagaimana dapat menjembatani dua kebutuhan ini dengan arif?