Salah Kaprah! Menjadi Misionaris Era Arwen dan Aragon

Sejak memulai misi Kawan Kasih Tumbuh, secara perlahan entah sampai kapan kami menanggalkan titel sebagai guru sekolahan. Sebelumnya, seperti ada rasa mulia ketika orang bertanya pekerjaan kami. “Guru di Papua”, sudah lebih dari 6 tahun Adit menjawab demikian. Sering kami mendapat respon positif, decakan kagum atau heran akan profesi yang kami pilih. Ketika menjawab kami rasa ringan, tanpa perlu khawatir mendapat stigma. Bagaimana tidak, seluruh rakyat Indonesia mengakui bahwa guru adalah “pahlawan tanpa tanda jasa”. Apalagi kalau menjadi guru di pedalaman Papua, yang notabene paling tertinggal dalam hal pendidikan. Akan tetapi semenjak pindah ke Kosarek, kami mengalami krisis dalam mendefinisikan profesi kami. 

Figure 1 Bersama murid-murid SMP kami saat di Ob Anggen Bokondini, sekolah berkualitas di pedalaman Papua yang didirikan The Wisleys.

 

Di Kos kami jadi sepasang suami istri yang mencari kehidupan baru. Tidak ada orang yang kami kenal betul apalagi saudara. Tidak ada yayasan yang mengontrak atau menggaji kami untuk melakukan deretan deskripsi pekerjaan dan target. Kami menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dengan misi pemuridan di ranah pendidikan agar suatu hari lahirlah pemuda-pemudi yang berdaya dari desa. Namun dalam proses merintisnya yang perlahan mengikuti dinamika masyarakat, apakah status kami ini? 

Setahun belakangan kami bergerilya mencari dana untuk visi yang Tuhan taruh di keluarga kami. Berdua sebagai “program” planner dan merancang bajet. Adit mengambil peran banyak di support logistik dan Putri dalam hal keuangan. Setahun lalu di Jawa, kami menjadi humas dan sales yang “memasarkan” misi ini dengan berkunjung ke komunitas maupun ke individu-individu. Sejak menginjakkan kaki di Kosarek Oktober 2018 lalu, status kami bertambah menjadi masyarakat Kosarek. Kami membangun rumah misi untuk ditinggali, merangkai sendiri sistem listrik tenaga surya di rumah, belajar berkebun, melatih guru sekolah minggu dengan buku kontekstual, juga menjadi mantri sekaligus pendeta dadakan dengan mengobati dan mendoakan pasien yang sakit. Sebagai warga baru Kosarek, kami juga turut bergotong-royong dengan masyarakat lain meratakan gunung dengan sekop untuk perpanjangan lapangan terbang. Di samping terus belajar dan menggali pengetahuan terkait budaya dan bahasa Mek Kosarek yang susahnya bukan kepalang.  

Jadi, setahun belakangan kami kerja “palugada” apa lu mau gua ada ☺! Tukang bangunan, tukang listrik, fundraiser, humas, marketing, purchaser, mantri/suster, pendoa, guru, fasilitator masyarakat, murid bahasa Mek, etnografer, dan akhir-akhir ini kami bahkan diberi titel: Misionaris lokal (pakai kata lokal karena misionaris kebanyakan datang dari luar negeri)! Titel berat yang malas kami pikul. Karena pemahaman kami akan misionaris adalah penyebar Injil, tok. Sementara kami justru masih harus diinjili.

Figure 2 Jadi Mantri dadakan sejak tinggal di Kos.

Namun saat kami mulai bergaul dengan misionaris di Papua dan membaca buku-buku yang ditulis para misionaris perintis, ternyata kami dangkal dan salah kaprah mengenai peran misionaris! Hampir semua misionaris di pedalaman memiliki daftar peran dan deretan keahlian yang cukup panjang. Dari pilot, musisi, linguis, tukang kayu, ahli mekanik, tenaga medis, dsb, yang membuat kami merasa bak butiran debu. 

Misionaris perintis di Papua (era 70-an) bahkan berjalan dan tinggal berbulan-bulan di bawah tenda di pedalaman antah berantah. Hampir tidak ada satupun misonaris yang kami kenal mewartakan Injil tok. Karena misionaris adalah semua pekerja lintas budaya yang menggalang dana mereka sendiri untuk menjalankan panggilan misi yang berbeda-beda, namun dengan landasan sama yaitu KASIH ALLAH. Oleh sebab itu, ada dokter dan suster dari benua Amerika atau Eropa yang menanggalkan kenyamanan hidup di negara asalnya untuk tinggal bersama masyarakat di pedalaman yang tak tersentuh akses kesehatan. Ada pilot yang alih-alih terbang dengan maskapai bergengsi, malah memilih menerbangkan pasien dari pelosok-pelosok agar mendapatkan perawatan intensif di Rumah Sakit di kota. Bahkan mentor kami, Scotty Wisley yang merupakan pengembang masyarakat, mendirikan Sekolah Ob Anggen di kampung di Papua dan menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah yang sama dengan anak-anak pedalaman lainnya. Para misionaris terdahulu mengajarkan kami bahwa misi yang dilandasi kasih menanggalkan hak dan membutuhkan pengorbanan.  

Figure 3 Dengan mentor Scotty Wisley dan anaknya Arwen (murid kami di OA dulu) saat Putri menghadiri seminar yang mereka bawakan mengenai Tantangan Pendidikan di Daerah 3T (Terluar, Terpencil, Tertinggal).

Karenanya, seperti memikul kuk berat yang diiringi perasaan tak layak ketika Paman Scotty mengenalkan Adit dan Putri sebagai misionaris lokal yang menjalankan pemuridan lintas budaya lewat pendidikan di depan 800-an jemaat sebuah gereja di Jakarta. Bagi kalian penonton Lord of The Rings, mungkin kenal dengan Legolas, Arwen, dan Aragon? Scotty menyampaikan analogi yang membuat kami tercengang. “Jaman saya, Legolas, atau misionaris dari luar negeri hampir berakhir. Kini saatnya Aragon dan Arwen yang menjadi misionaris di tempat mereka sendiri. Dan yang bisa kalian lakukan adalah mendukung pemuridan yang dilakukan oleh misionaris-misionaris lokal agar bertahan.” Sekadar informasi, meski misionaris melakukan kerja sosial dan menyentuh hidup banyak orang, namun tidak mudah lho mengurus visa kerja mereka di negara ini. Prosesnya panjang, mahal, bahkan sampai ada misionaris yang terpaksa pulang ke negaranya karena isu visa. 

Figure 4 Putri sharing di sebuah gereja di Jakarta dengan latar belakang slide Uncle Scotty menampilkan foto 3 misionaris lokal (dari Jawa, Medan, dan Flores) yang saat ini mengajar di Ob Anggen.

Oleh sebab itu, di dunia misi kami merasa terlalu kecil dan belum bikin apa-apa untuk menyandang titel ini itu. Sungguh tidak pantas. Kembali, mentor kami yang lain, Pak Mike mengingatkan. Siapa sih yang benar-benar pantas untuk melakukan panggilan Tuhan dan merepresentasikan kasih Allah di tengah-tengah komunitas lintas budaya? Tidak ada satu pun dari kita yang sempurna dan luput dari kesalahan. Hanya karena kasih karunia saja kita diselamatkan dan dimampukan. Justru sebab itu, kita yang tak layak, dipanggil untuk menunjukkan kasih dan kebesaran-Nya kepada orang lain. 

Figure 5 Pak Mike, mentor kami seorang misionaris penerjemah bahasa Mek Kosarek dengan multiragam keahlian: musisi, ahli bangunan dan perkayuan, juga listrik. Pak Mike sedang mengajarkan Adit menginstal sistem listrik di rumah.

Skak mat. Kalimat itu mengangkat sekaligus menegur Putri yang masih suka dirasuk khawatir. “Saya tidak pantas karena masih memikirkan diri sendiri, keluarga sendiri. Misi itu berat, saya tidak akan sanggup (mungkin Dilan sanggup :P).” Mungkin diantara para kawan juga pernah bergumul yang sama saat harus memutuskan keluar dari zona nyaman dan “pergi menjangkau”? Sungguh amat manusiawi. Namun yang kami rasakan sejak memilih jalan ini, saat Tuhan memanggil, Tuhan pula yang memampukan dan menyediakan. Untuk para Arwen dan Aragon dimanapun berada, maju terus! 

 

Tags: No tags

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *