DSCF2074

Sial! Bermimpi Karena Pagesangan dan Papringan, Padahal…

Wah susah itu kalau kamu mulai pakai judul buka sekolah. Mulai itu dari perut, nanti baru yang lain bisa masuk, termasuk pendidikan. Toto Rahardjo – pendiri Sanggar Anak Alam (SALAM) Yogya.

Komentar lugas dari Pak Toto, yang sebelumnya pernah disampaikan secara lebih “ramah” oleh Ibu Wahya, istri beliau saat kami berguru kepada kedua pendiri Sanggar Anak Alam Yogya. Bukan hal yang baru kami dengar, sebenarnya. Namun, tak ada nyali dan daya untuk sebagian diri kami menjalankan pengembangan ekonomi masyarakat. Pasalnya, belajar jadi pendidik untuk anak-anak dan pengasuh sekolah minggu saja kami sambil hosa-hosa (ngap-ngapan :P). Akan tetapi, pengalaman benar-benar membuktikan. Ilmu hanya akan terserap dengan baik ketika perut kenyang.

Sekarang, karena kami masuk ke daerah terisolasi dimana geliat ekonomi amat rendah, kami tak bisa lagi mengelak. Beberapa bulan terakhir saat di Jawa tahun lalu kami meluaskan ruang belajar ke sektor pertanian, pengolahan pangan dan pengembangan masyarakat. Melalui riset dan rekomendasi rantai pertemanan, kami mengalami perjumpaan dengan gerakan-gerakan akar rumput hebat, seperti Sekolah Pagesangan, Pasar Papringan, Pijar Kasih Nusantara, Sodong Lestari, dan Tani Organik Merapi.

Sekolah Pagesangan: Baper dari Desa

Di sebuah percetakan digital di Sleman, kami bertemu dengan Ibu Diah Widuretno, pendiri Sekolah Pagesangan yang saat itu menjinjing ratusan buku bersampul hijau. Lebih dari 100 eksemplar buku yang ia tulis, Gesang di Lahan Gersang, selesai dicetak untuk didistribusikan kepada pemesan buku. Buku tersebut menuturkan perjalanan panjang Ibu Diah dan masyarakat Dusun Wintaos, Girimulyo memperjuangkan keberdikarian masyarakat dari desa. Kitab perjuangan dari gerakan mandiri bersama masyarakat itu kami beli satu untuk menjadi salah satu referensi baik KKT.

Diah Widuretno, pendiri Sekolah Pagesangan. Foto kredit: IG @sekolahpagesangan

Eh, adakah yang bertanya berapa jumlah guru dan murid di Sekolah Pagesangan? Sekolah Pagesangan bukan lembaga belajar sesuai definisi KBBI, yang sejatinya disempitkan dari makna sebenarnya. Secara etimologi, Bahasa Indonesia menyerap kata sekolah dari bahasa latin, schola. Artinya tempat yang memberikan pengajaran, sekumpulan orang yang diajar, dan waktu luang untuk belajar (etymonline.com). Sementara kata schola sendiri asalnya dari bahasa Yunani skhole yang artinya waktu luang, istirahat, yang biasa diisi dengan berbagai macam kegiatan yang disenangi. Sekolah Pagesangan kini mengadopsi makna sejatinya dari kata sekolah.

Memang, awalnya Ibu Diah bersama tiga teman memulai Sekolah Pagesangan dalam bentuk kelompok belajar. Setelah beberapa tahun berjalan, ia menyadari tidak banyak perubahan yang terjadi. Sekolah formal mulai bertumbuhan dan anak-anak mulai enggan terlibat dengan kegiatan yang dibuat. Klimaksnya anak-anak tetap pergi keluar dari kampung untuk mengadu nasib. Maka pendekatan pun diubah total.

Karawitan anak-anak Wintaos.

Siapa pernah ke Gunung Kidul pasti tahu betapa panas dan gersangnya tanah ini, bukan? Namun dari tanah inilah singkong, keladi, kelapa, dan kacang-kacangan tumbuh melimpah ruah. Lewat Sekolah Pagesangan, Ibu Diah mengajak anak-anak mengolah hasil bumi Desa Mulyo agar memiliki nilai tambah. Pergerakan pun meluas dengan menggaet kaum ibu dan bapak petani sebagai produsen. Sementara itu, anak-anak remaja dan Ibu Diah mengemas dan menjual hasil tani tadi secara online atau langsung ke pasar organik lokal di Yogyakarta.

Tanah gersang Dusun Wintaos, Gunung Kidul

Belakangan, masyarakat yang sempat terbuai dengan nasi, kembali lagi haus dengan ragam penganan lokal. Tepung mokaf, tepung jali, jewawut, kedelai hitam, kedelai putih, ketan hitam, beras hitam, kacang koro, hanyalah beberapa contoh hasil tani dan olahan yang dapat kami beli saat live in di Pagesangan bulan Mei tahun lalu.

Dalam kegiatan live in yang diikuti sekitar 40 orang tersebut, kami dipertemukan dengan jaringan pengusaha sumber daya lokal. Pasar Kamisan, petani kombucha, komunitas pangan sehat lokal, petani muda organik Sleman, pengusaha Gonagoni, pembuat sabun rumahan dan penggiat-penggiat pangan lokal dan sehat. Kami para penggiat muda dari kota, belajar dari ibu-ibu Desa Girimulyo membuat 10 ragam makanan dari hasil kebun khas Gunung Kidul. Mulai dari tiwul, bubur jali, jadah dan tempe koro.


Semburat wajah penuh bangga memancar ketika ibu-ibu di kampung menjadi guru mengajarkan kami murid kota yang bodoh dan hanya tahu instan. Anehnya, hari itu semua murid belajar dengan semangat berkobar saat mengolah jadah, jali, tempe, tiwul, gaplek. Bukankah itu hal yang paling hakiki dari semua program pengembangan masyarakat? Ketika kami yang datang dari berbagai latar belakang, namun punya ketertarikan yang sama akan ketahanan pangan lokal dan berkolaborasi setara dengan para petani yang semakin termarjinalkan.

Ibu-ibu yang terus tersenyum bangga dan tekun mengajar kami.

Buah ceri di atas es krim dari Sekolah Pagesangan ini adalah menyantap makanan yang kami masak bersama para Ibu. Perut pecah sudah. Makanan terlalu banyaaaak dan semua enak-enak. Favorit kami tentu saja bubur jali asin. Hahaha.. karena lidah Sunda dan Batak ini nggak bisa bohong. Harus berjuang dengan penganan manis-manis di Jawa. Kami sudah mulai pikir akan mengganti gula dengan garam juga kelapa parut dengan kelapa hutan (kalau musim).

Berbagai jenis penganan dan minuman dalam “Memanggil Cita Rasa Ndeso” yang digagas SP.

Saat live in, Adit menjadi teman serumah Mas Koen. Seorang petani muda dari Sleman yang tetap konsisten dengan jalur organik di tengah himpitan pembangunan urban dan ketidakjelasan nasib petani. Beliau menyemangati kami untuk mempertahankan pangan lokal. Sekaligus, mewanti-wanti bahwa sering tantangan berasal dari kaum petani sendiri yang akhirnya menyerah dan mempertanyakan motivasi para penggerak petani.

Putri serumah dengan Citra, yang bersama pacarnya, konsisten menjadi petani kombucha bahkan tape. Kami suka sekali kombucha, sayangnya tidak kontekstual untuk kami kembangkan di Papua. Apalagi dengan segala keribetan membawa ragi yang dilarang masuk lewat Wamena. Duh.

Mbak Citra, petani kombucha (sebelah kiri) Putri di rumah tinggal kami dengan masyarakat.

Saat berdiskusi malam dengan para pemuda-pemudi pejuang pangan sehat yang sebagian malah makan dari apa yang mereka tanam, kami merasa tersentil. Tersentil karena selama di Jogja kami gemar dengan yang namanya Ol*ve Fried Chicken (ayam goreng krispi khas Jogja dengan micin aduhai…hahaha). Alasan murahannya adalah… “kan nanti di kampung makan ubi dan keladi rebus lagi, sekarang yah bolelah kan gak sering-sering :P” Tapi betul, pertemuan ini cukup menampar kami dan memantik semangat untuk mulai bertanam dan setia dengan pangan lokal di kampung.

Sebagai acara pamungkas, hari terakhir diadakan Pasar Tani & Bazaar Pangan Ndeso. Berbagai macam jajanan dan masakan ndeso enak, manis, pedas, asin, ada di sini. Kami sangat terkesan dengan Murni, gadis remaja yang sudah bersama Ibu Diah sejak merintis Pagesangan selama 11 tahun. Ia menjual dengan lincah bahan pangan mentah kepada pelanggan. Ia pula yang mengatur stok dan mencatat keuangan dengan seksama. Tidak ada kesan kaku atau kikuk, melainkan dengan bangga dan luwes menjajakan hasil tanah desanya kepada pengunjung pasar. Pasar dilatari oleh alunan karawitan dengan iringan gamelan oleh remaja Sekolah Pagesangan. Sebagai MC acara adalah dua remaja dusun yang tidak pernah kehabisan kata dan guyon seru selama membawakan acara. Mengalir dan menghibur.

Keramaian di acara Cita Rasa Ndeso oleh Sekolah Pagesangan.

Di lini masa instagram @SekolahPagesangan, perubahan dan kemajuan yang diolah oleh remaja-remaja Sekolah Pagesangan ini semakin berkilau. Hasil produksi bumi dari dusun Wintaos terus bertambah dan beragam. Minyak kelapa, thiwul, berbagai jenis kacang-kacangan, tepung mocaf, sabun organik, tempe kacang koro, dan sudah ada kedai kecil di Yogya. Ah, super salut untuk Mbak Diah dan adik-adik jawara.

Tahun lalu, berbinar saya saat membaca sebuah caption dari video IG @sekolahpagesangan yang menjadi pembicara di Hari Remaja Internasional. “Kami adalah bagian remaja yang #baper (bawa perubahan), karena kami bangga menjadi generasi penerus petani dan wirausaha tani #banggajadipetani. Buat saya ini pesan yang powerful sekali dari anak muda.

Terbukti memang, sekembalinya ke kota baru-baru ini, SP juga didapuk sebagai salah satu CNN Heroes yang menurut kami amatlah pantas mereka menerimanya. Sekolah Pagesangan adalah guru panutan Kawan Kasih Tumbuh dalam meningkatkan kualitas hidup dan kemampuan berdaya dari desa. Hormat dan salut untuk SP 🙂

Revitalisasi Desa dari Tempat Buang Sampah

Semangat kami juga semakin tersuntik setelah bertemu dengan komunitas Spedagi di mana kami tinggal selama 2 malam di desa Ngadiprono, Parakan. Kami tercengang luar biasa menyaksikan masyarakat yang bergeliat karena sumber daya di kampungnya, meski awalnya potensi itu tidak ada yang menyadari. Permata yang tidak akan pernah muncul ke permukaan tanpa kesetiaan dari para fasilitator muda. Mereka yang notabene bukan orang Ngadiprono, namun sesederhana tinggal bersama masyarakat dan betul-betul menjadi masyarakat selama 1.5 tahun.

Kami sudah melihat hasil, memang tidak merasakan proses jatuh-bangun bersama masyarakat. Akan tetapi, melihat di hari pasar Papringan (bambu-bambuan – bahasa Jawa) ada 100 lebih vendor dari setiap rumah tangga menjajakan lebih dari 300 jenis jualan. Semua jenis jualan adalah panganan minuman/kerajinan lokal khas bahkan ada yang sudah hampir punah. Makanan yang dijual bebas msg, bebas kemasan plastik, bebas zat kimia dan yang pasti endeess. Nikmat, sedap, lezat, mamamia lah.

Jelas saja, hasilnya sehat dan super enak karena itulah yang fasilitator lokal ini lakukan selama 1.5 tahun (pada Mei 2018). Mbak Sisca, Mas Panji, Mbak Tini setiap hari tinggal bersama bapak-bapak dan ibu-ibu bukan untuk mengatur ide pasar tersebut tapi untuk mendampingi bagaimana menjaga kualitas, membangun sistem pasar yang mencakup 100 KK, dan mempromosikan pasar ini.

Para penggerak lain adalah Mas Singgih, yang juga penemu sepeda bambu Spedagi, sebagai pencetus awal gerakan kembali ke desa dan pasar bambu. Tak lupa, Mas Yudo yang mengelola warung makan Lik Cil, makanan sehat sederhana namun nikmat dari kampung. Sayang, kami baru sempat meneteskan liur saja melihat menu-menu rumahan yang tidak biasa-biasa di sosmed-nya.

Tim lengkap Pasar Papringan

Setiap hari tiga fasilitator ini bertamu dari dapur ke dapur. Mereka sudah bisa masuk keluar di setiap rumah masyarakat dengan luwes seperti keluarga. Kami juga melihat bagaimana proses mereka memastikan setiap rumah tangga berproduksi dengan baik sebelum paginya hasil olahan lokal dijajakan.

Mbak Tini (jilbab putih), Mbak Sisca (sweater hitam) fasilitator yang menginspirasi kami.

Setiap periode tertentu akan dilakukan uji makanan oleh tim fasilitator dan perwakilan masyarakat. Namun, masyarakat akan dibantu memikirkan apakah kualitas jajanan mereka sudah layak dijual di pasar. Setiap detil persiapan pasar mulai dari parkir, akses masuk, denah lincak (lapak) dirumuskan oleh masyarakat sendiri.

Tidak heran, pasar yang sudah berjalan 30 kali setiap hari minggu selapan kalender Jawa ini (2x setiap 35 hari, per bulan Mei 2018) bisa menghasilkan 60-120 juta rupiah dalam sekali pasar. Pembagian keuntungan dan operasional pasar ditentukan oleh masyarakat.

Bisa membayangkan bagaimana upaya awal membuat hutan bambu tempat buang anak dan kerajaan demit–demikian deskripsi warga–disulap menjadi oase ekonomi masyarakat desa? Sangat senang ketika melihat semua orang yang terlibat betul-betul capek tapi terlihat puas atas capaian dan bangga dengan identitas mereka sebagai warga desa Ngadiprono. Bukan hanya capek, banyak diantaranya yang lembur tidak tidur hingga subuh. Bergotong royong bersama keluarga masing-masing agar sajian untuk dijual waktu pasar masih segar dan panas dari tungku di dapur!

Begadang sampai pagi loh para bapak-bapak (dan ibu-ibu di ruangan lain) untuk menyiapkan.

Kami sempat berbincang dengan pemuda yang mulai kembali dan terlibat di desa karena pasar tersebut. Mereka punya pekerjaan di kota, namun mulai jengah dan tergerak untuk andil dalam pertumbuhan kampung halaman. Mulailah ada yang menjajakan keahlian cukur rambut, juga andil sebagai motor yang melincahkan Pasar Papringan.

Di tengah keramaian pasar bambu ini, kami bermimpi kalau di masa depan nanti ada geliat ekonomi dari kampung yang kami tinggali kini. Ada cita rasa lokal yang dipertahankan dan dinikmati berbagai kalangan. Ada masyarakat dan pemuda yang berdaya juang dari kampung dan enggan melirik ibu kota yang genit. Juga ada masyarakat yang mau berbagi rumah dan ilmunya kepada saudara-saudari dari luar namun bersemangat mempelajari budaya dan hasil olahan asli masyarakat .

Seperti ketika kami live in di rumah Pak Sam. Betapa beruntungnya kami mendengar langsung hal-hal yang memotivasi beliau “bergerak” dari pagi ke pagi untuk mengenalkan potensi dan kekuatan Desa Ngadiprono. Pun, Ibu Sam tidak hanya memasakkan kami makanan yang super lezat, seperti sego (nasi) jagung (sego terfavorit kami) dan lauk-pauk. Namun juga mengajar Putri masak batang keladi atau sayur lompong. Meski, kami sudah berasumsi bahwa tipe keladi yang ada di Kosarek berbeda dari yang ramai di Jawa. Tapi semangat berbagi ilmu masyarakat patutlah diacungi jempol.

Menyenangkan live in dengan keluarga Pak Sam

Diajarkan bikin lompong (sayur daun keladi) oleh Bu Sam.

Ah, banyak kali mimpi kami, ya. Padahal kami baru pendekatan, tapi PDKT kami kok terdengar agresif. Hahaha.. Padahal, kekuatan dan pengetahuan kami amat terbatas. Padahal, kampung kami terisolasi dan mahal biaya untuk distribusi barang. Padahal, kami masih sulit komunikasi dalam bahasa setempat. Padahal…. (bisa sampai ratusan padahal 🙂

Adooo… sial sudah! Pagesangan dan Papringan bikin kami bermimpi tinggi. Padahal banyak “padahal” di ujungnya. Bukan sekarang memang, tapi bolehlah didoakan agar di masa depan mimpi ini terealisasi. Karena dengan kesetiaan berjuang bersama para kawan dan jaringan yang kita punya, kami percaya suatu hari mimpi itu mendarat di kampung kita. Ada amin saudara-saudara?

Tags: No tags

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *