12 Oktober 2018
Kali kedua kami menginjak Distrik Kosarek, namun dengan air muka dan situasi yang berbeda. Kami tidak tampak kuyu kelelahan akibat berjalan kaki dua malam dari Angguruk. Kami tidak datang dengan sepatu berlumpur, menenteng tongkat kayu, dan memikul carrier kotor di punggung. Kali ini, saya dan Adit turun dari pesawat misi bersama Pak Mike dan Ibu Amy Martin, penerjemah Alkitab dalam bahasa lokal, dengan muka berseri-seri menurunkan ratusan kilo media dan alat belajar untuk kami manfaatkan.
Seperti biasa ketika pesawat mendarat, masyarakat akan berlari memenuhi lapangan terbang. Dengan tatapan-tatapan penasaran, mereka menanti siapa yang akan turun dari pesawat dan mengamati barang apa yang diturunkan. Akan terdengar decakan heran dari kerumunan atau sekedar mematung memperhatikan detil interaksi pilot, penumpang, dan pengangkut barang. Tidak akan ada yang beranjak pulang sebelum buntut pesawat mengempaskan angin kencang untuk take off. Momen itu adalah hiburan seru bagi anak-anak. Mereka akan dengan sengaja berdiri beberapa meter dari mesin untuk merasakan deru angin dari buntut si burung besi. Seketika pesawat lepas landas, satu persatu akan kembali ke pekerjaannya masing-masing.
Namun tiga hari setelah tanggal kami tibalah yang menjadi penanda kami sah menjadi anggota masyarakat Kosarek. Ketika Keluarga Martin pulang ke Sentani, usai mengenalkan kami dengan masyarakat dan mengajar kami basic knowledge on how to survive in Kos, Pak Mike melempar kata pamungkas, “Now you are ready to fly!” Sejujurnya, saya tidak tahu apakah kami siap, hanya... We just have to be ready. Now or never, they said.
Beradaptasi dengan Permintaan dan Tuntutan
Dari pengalaman beberapa tahun tinggal di kampung, kami sadar bahwa status guru, dokter, kepala desa, kepala distrik, gembala gereja, atau misionaris dipandang masyarakat sebagai empunya akses dan kuasa. Memang tidak sepenuhnya salah. Namun kadang, kuasa atau akses tersebut dimaknai tanpa batas, sehingga permintaan-permintaan masyarakat berangsur-angsur menjadi tuntutan. Dimulai dari hal yang sederhana dan mungkin untuk dikabulkan, hingga kadang diluar kemampuan atau area keahlian kami.
Hari itu sebelum pesawat lepas landas, Adit, Pak Mike dan Gerson sempat meluruskan perbedaan ekspektasi dari kehadiran kami (Adit dan Putri) untuk mendampingi guru PAUD dan pengasuh sekolah minggu. Malam sebelumnya kami berdiskusi dengan perwakilan gereja Pak Ananias dan menyampaikan karena keterbatasan kami dalam bahasa lokal dan pengenalan akan budaya, kami hendak mulai perlahan dari kampung yang terdekat lebih dulu agar lebih mudah didampingi. Maka gereja pun merekomendasikan tiga kampung terdekat, yaitu: Wahaldak, Wahae, dan Nohomas. Kami setuju.
Ternyata hal ini berbeda dari rencana awal, yang kami tidak sadari, bahwa PAUD akan dijalankan di kampung Wahae dan Sirikasi (3 jam jalan kaki dari pos Kosarek). Dari 7 kampung distrik Kos, Sirikasi adalah salah satu yang terjauh. Di fase awal lokasi yang jauh akan sulit jadi tantangan untuk memastikan secara rutin apakah ilmu pelatihan diterapkan sesuai harapan. Maka, jalan tengah yang diambil kami harus membuka pelatihan untuk semua kakak pengasuh sekolah minggu/PAUD dari 7 kampung: Wahae, Wahaldak, Nohomas, Uldam, Hombuka, Sirikasi, dan Malo. Karena mejadi tidak adil katanya kalau Sirikasi dilibatkan, sementara dusun Hombuka dan Uldam yang lebih dekat tidak diikutkan. Kami turut pada rasionalisasi tersebut dengan catatatan komitmen dan kesetiaan perwakilan kampung akan menjadi tolak ukur bagi kami untuk memberi pendampingan yang lebih intensif untuk PAUD/sekolah minggu mereka.
Agar pelatihan lebih efektif, kami menetapkan batasan maksimal 2 wakil dari tiap kampung. Namun di hari pertama pertemuan, ada 3 kampung yang datang lebih dari 2 perwakilan, 3 orang bahkan 5. Mereka semua meminta ikut pelatihan agar nanti memudahkan ketua dalam menentukan guru mana yang akan mengajar. Kami mulai bingung memfasilitasi pelatihan dimana pesertanya memenuhi satu rumah. Akhirnya kami melonggarkan ketetapan pelatihan dari 2 menjadi maksimal 3. Dengan pemikiran mungkin akan ada peserta yang tersaring komitmennya dan lambat laun mengundurkan diri. Meski akan jadi hadiah paling mengejutkan bagi kami apabila semua perwakilan setia dalam komitmennya.
Tersesat di Terjemahan
Masih soal tuntutan, di hari lain kami cukup frustasi terhadap seorang kakek yang beberapa kali mengunjungi rumah kami. Di pengalaman penghuni rumah sebelumnya, kakek yang masih memakai sabiyab (rotan) dan koteka ini dikatakan sering datang untuk meminta supermi atau barang dari kota. Ia cenderung berkeras untuk masuk rumah, lalu jika tidak mendapat barang yang memuaskan hatinya, ia bisa tidak beranjak pulang.
Suatu pagi saat hendak devosi, kami mendengar suara pintu diketuk. Adit beranjak membukakan pintu depan dan mendapati kakek tidak hanya berbicara tanpa putus dalam bahasa Mek, namun juga berusaha masuk ke rumah. Bayangan bahwa ia akan duduk lama di dalam karena kami tidak memberikan apa yang ia mau, mendorong kami untuk berlaku tegas. Adit dalam bahasa Indonesia menyampaikan kami butuh waktu untuk sembahyang pagi dan berkeras menutup pintu. Ia tidak membiarkan sang kakek masuk. Saya melihat ada sedikit ketegangan karena nada bicara kakek makin naik. Saat pintu tertutup kami merasa lega dan melanjutkan devosi.
Namun, ada perasaan aneh ketika bersaat teduh karena justru saya merasa ada yang salah dengan apa yang baru kami lakukan terhadap kakek. Ketakutan akan tuntutannya yang belum terjadi telah melahirkan praktik arogansi dari kami. Kami menganggap kakek adalah interupsi mengesalkan, lalu menutup pintu rumah karena ingin berdoa. Kenapa kami tidak melihat si kakek sebagai bagian dari interupsi Allah untuk kami perhatikan? Sehingga membukakan pintu, duduk, dan mendengar celoteh orang yang kami hindari adalah bagian dari ibadah kami yang harum di hadapan Sang Pencipta? Ada rasa malu, membayangkan diri seperti kaum farisi.
Memang akhirnya terbukti bahwa si kakek adalah intervensi dari Tuhan untuk kami. Karena selang beberapa jam, kakek kembali mengetuk pintu rumah. Mengunjungi kami kali kedua. Adit langsung membukakan pintu dan duduk sama-sama di depan. Saya mencoba menawarkan pisang, namun ditolak. Saat duduk bersama, kami masih tidak paham sepatah kata pun ucapan kakek. Ada beberapa anak-anak di sekitar yang turut menyaksikan kakek menggumam seperti marah-marah di sebelah Adit. Kami berdua berasumsi kakek tersinggung dan marah. Ia mengucapkan kata pesawat masuk, mungkinkah ia menyuruh kami pulang dengan pesawat? Kami sampaikan kepadanya kalau kami tidak mengerti apa yang ia bilang. Usaha lain yang kami lakukan adalah meminta anak-anak untuk menerjemahkan, tapi mereka menolak dan lari. Sepertinya mereka takut.
Teringat saya akan kamus aplikasi sederhana bahasa Mek yang saya salin dari Pak Mike. Saya mulai mencari beberapa kata yang ia sebut, namun tidak ada yang kami pahami. Beberapa menit berselang, pria berusia 80-an itu pun pergi. Saya merasa ganas dengan anak-anak yang masih berkerumun di situ. “Kalau kalian tidak mau bantu kami jelaskan apa yang kakek bilang, mungkin nanti akan ada masalah besar. Mungkin kami bikin salah, tapi kami tidak tahu. Dan mungkin juga kami harus keluar dari Kosarek, tidak jadi bikin kegiatan dengan anak-anak dan kakak pengasuh karena masalah yang kami tidak tahu. Dan itu karena tidak ada yang mau bantu jelaskan, seperti kalian ini.”Kalimat panjang dan menerkam itu keluar setelah seorang anak berkata, “Tidak mau bilang.” Mereka bukannya tidak tahu bahasa, tapi tidak mau bilang. Dengan rasa kecewa bercampur ganas, saya menutup pintu dan masuk ke rumah.
Beberapa menit kemudian pintu kembali diketuk, ternyata Bapak Thomas yang menjaga kios gereja datang bersama kakek. Pak Thomas bilang dia mau jelaskan apa yang kakek sampaikan sebelumnya. Kami senang sekali dan persilakan mereka masuk ke dalam. Kali ini kami sajikan keripik keladi sebagai suguhan. Meskipun kemudian kami merasa salah karena dengan gigi yang sudah jarang kakek kesulitan mengunyah keripik yang keras itu. Rasa salah berubah menjadi senyum saat kami melihat usaha kakek mengunyah apa yang kami sajikan. Suasana jadi lebih cair dan bergulirlah terjemahan-terjemahan dari semua percakapan kakek yang sebelumnya tidak kami mengerti.
Rumah mentor yang kami tempati saat ini adalah rumah gereja yang kakek ikut bangun dan pelihara sejak lama, jadi ketika kami menutup pintu ia merasa tersinggung. Kakek juga menyampaikan kalau pesawat masuk, mungkin mentor kami ada kirim barang seperti minyak atau beras dari Sentani untuk kami bagikan dengan dia. Menurut kakek, mentor kami bilang kepadanya kalau mereka adalah teman jadi meskipun mentor kami tidak ada, kakek bisa datang ke rumah ini dan ia bisa makan bersama-sama dengan kami bila kami ada makanan. Kalau kami ada minyak, beras, atau garam kami bisa bagikan juga untuknya. Karena kalau kakek minta-minta itu tidak baik, jadi apa yang kami ada, kami bisa kasih saja karena kakek ini teman dari mentor kami.
Hmm… tentu kami meragukan pernyataan itu diucapkan oleh mentor kami. Namun, kami terima saja dan meminta maaf kalau kami sempat bikin kakek tersinggung. Kemudian saya ke dapur membungkus beberapa sendok makan garam untuk diberikan kepada kakek. Kalau kami berlebih mungkin kami bisa bagikan satu bungkus, akan tetapi barang bawaan yang kami utamakan adalah buku-buku dan alat belajar, sehingga stok sembako yang kami bawa amatlah pas-pas. Dengan rasa sedikit malu saya bagi garam yang tidak seberapa itu dan ada rasa lega saat memandang kakek yang air mukanya berseri menerima sedikit garam.
Setelah rekonsiliasi usai, kami berdua merasa lega seperti baru saja melakukan hal yang benar. Dan ternyata, Adit pun merasakan ada yang salah dengan respon pertama kami. Maka saat kakek datang kedua kali, ia dengan segera membuka pintu dan duduk mendengarkan kakek. Pfiuh… tidak akan pernah mudah, beradaptasi dengan harapan dan tuntutan lintas budaya. Hikmat… hikmat… ooh…hikmat.. turunlah dari langit.