Langit mendung ditutupi awan putih kelabu saat kami bergerak menuju Wahaldak. Di belakang saya Adit berjalan cepat memikul beras 4 kilo sebagai tanda duka keluarga kami untuk keluarga Pak Enos, warga Wahaldak yang juga penginjil di kampung itu. Masih tergambar jelas di ingatan saya, kemarin anak perempuan kedua Pak Enos terbujur kaku di dalam honai dengan kulit yang mulai membiru. Di sebelahnya terduduk sang suami dengan pandangan nanar dan membisu saat bapa mertuanya menceritakan kepergian sang istri.
Dari penjelasan Pak Enos, cucu perempuannya lahir pukul 22.00. Entah ada masalah apa, namun tali pusar belum bisa diputus sehingga almarhumah memutuskan berjalan kaki dari atas bukit untuk turun ke rumah. Dalam perjalanan hingga sampai di Wahaldak, darah berwarna hitam terus mengucur deras. Pada dini hari pukul 3.00, akhirnya tali pusar dapat diputus, namun ibu tidak lagi kuat bertahan danmennggalkan suami serta keempat anaknya.
Dari titik kami berjalan, terlihat orang-orang duduk berkerumun juga berdiri di depan honai laki-laki besar (yawi). Kami tahu bahwa mereka sedang menyelesaikan masalah. Masalah pembunuhan terhadap anak perempuan bapak Enos.
Di depan, Anate menenteng semangkuk bubur dan dengan lincah menghantam semua lumpur dan kotoran babi dengan telapak kakinya yang keras. Sambil memegang erat gelas berisi bubur saring encer, saya berusaha agar tidak terbenam dalam timbunan lumpur tanah bercampur tai babi. Gagal. Tetap saja saya terpeleset dan lumpur kotoran babi itu mencoreng sepatu biru muda gaya-gaya hingga ke betis saya. Namun rasa malunya tidak sebanding saat puluhan pasang mata dari kerumunan di depan yawi dan honai-honai perempuan beralih kepada kami saat tiba di depan honai almarhumah. Kami disambut hangat oleh istri Pak Enos yang duduk menyaksikan penyelesaian adat dari muka honainya. Karena ingin menghindari kerumunan, kami segera masuk ke dalam honai dan menyampaikan rasa duka serta tujuan kedatangan.
“Mama, kelme (bayi perempuan) itu apa kabar? su ada yang mau kasih de susu kah?” “Belum, namanggel (anak perempuan).” Kami terhenyak. Ini sudah hari kedua, ternyata tidak ada perubahan dari kemarin. Pak Enos menghampiri kami dan meminta susu. Apa adanya kami bilang kami tidak punya susu formula. Hal yang kami sarankan adalah agar tanta atau mama ade yang sedang menyusui membagikan air susunya kepada bayi itu. Saran kami direspon dengan cepat, “Tidak bisa. Di sini tidak bisa orang lain kasih air susu. Kalau di bagian Welarek sana bisa.”
Kami lanjut kasih penjelasan soal manfaat ASI untuk bayi, lalu adanya aksi dari ibu-ibu di kota untuk berbagi ASI. Bahwa itu aman dan air susu tidak akan kurang meski dibagi. Mereka memberikan alasan tambahan, katanya memang bapak bayi itu punya kakak dan adik yang sedang menyusui, namun mereka takut. “Tidak tahu kenapa ee. Mereka takut kasih.” Kami coba simpulkan mungkin karena kasus ini dilihat sebagai pembunuhan dan mereka takut roh ibu yang meninggal itu akan balas dendam.
Kami baru memelajari bahwa di budaya Yahukimo pegunungan, setiap ibu yang meninggal saat melahirkan dianggap sebagai pembunuhan oleh suami. Pihak suami harus bayar denda sebanyak 10 babi belum termasuk uang puluhan juta. Alasannya, kalau ibu sehat, makan baik, kuat, tidak dibiarkan kerja berat oleh suami saat hamil maka pasti melahirkan lancar. Sebaliknya, kalau suami tidak bertanggung jawab merawat istri saat hamil, maka istri lemah dan bisa mati saat melahirkan. Rasionalisasi yang sebenarnya bisa dipahami, sesuai dengan prinsip suami SIAGA (Siap Antar Jaga) yang bahkan tidak berlaku di banyak budaya.
Saya kemudian bertanya kepada Anate, “Berarti saat istri melahirkan suami ada di samping untuk dampingi istri, ya?” “Suami tidak bisa lihat. Kalau istri melahirkan, suami harus pergi ke tempat lain. Ke kebun kah, cari orang yang jaga untuk dampingi istri. Baru bisa kembali saat anak sudah lahir.” Jawaban yang mematahkan asumsi saya atas suami SIAGA tadi. “Jadi, kalau ada masalah saat melahirkan, meski suami tidak boleh dekat dan bantu, dia akan tetap dituntut kalau ibu meninggal?” “Iya, itu pasti. Karena yang jaga kan tidak bisa dituntut.” Saya menyegel mulut saya dan berhenti bertanya.
Ibu Enos mengangkat sebuah noken usang yang digantung di pagar kandang babi di dalam honai. Di dalam honai perempuan, biasanya masyarakat ambil 1/3 area honai sebagai kandang untuk 1-2 ekor babi. Maka di dalam honai sempit itulah ibu, anak-anak perempuan dan anak laki-laki yang belum akil balig akan masak, makan, dan tidur bersama babi piaraan mereka. Tanpa bermaksud merendahkan, namun karena noken itu sudah tua dan amat kotor, saya sungguh tidak menyangka mereka menidurkan bayi itu di dalamnya.
Saat noken dibuka, untuk pertama kalinya kami melihat kelme dengan kulitnya yang masih merah telanjang. Tubuhnya besar, mungkin hampir 3 kilo dan parasnya cantik sekali. Namun kontras dengan itu, kami juga melihat lipatan-lipatan tubuhnya kotor dengan daki dan debu. Nenek menjelaskan ia belum sempat dilap atau dimandikan lagi setelah darah dibersihkan. Biasanya kami melihat noken bayi selalu dialas dengan selimut atau beberapa lapis kain. Namun ranjang kelme ini hanyalah noken berlapis satu kain tipis. Saat neneknya membuka noken lebar-lebar untuk menunjukkan bayi itu kepada kami, tangan bayi cantik itu gemetar dan matanya terbuka lebar. Dengan cepat saya meminta nenek untuk menutup kembali noken karena kelme kedinginan.
Seolah-olah bisa membaca pertanyaan yang muncul dari ekspresi kami kenapa kelme dibiarkan seperti itu. Nenek menjawab, “Aduh, kita semua sibuk ini. Lagi urus masalah. Jadi tidak sempat kasih mandi. Tidak ada yang urus dia.” Mama di sebelah saya menambahkan, “Iyo de pu nenek ini juga kemarin pingsan, baru bangun hari ini.”
Kemarin saat menangis haus dan lapar, karena tidak ada ibu yang mau beri ASI, anak itu disuapi singkong rebus yang ditumbuk halus-halus. Hari itu kami datang pukul 16.00, nenek bilang dia hanya diberikan air tebu satu kali. Saat saya tanya apa ada air panas untuk kelme juga untuk mencuci sendok yang akan kami pakai untuk menyuapi dia. Kembali dia jawab, “Kami sibuk ini jadi tidak sempat. Mak pobo orok (tidak ada air panas). Tidak ada waktu karena urus masalah.” Mama di sebelah saya menambahkan, “Ah, Tuhan juga lihat kita punya kondisi ini yang keterbatasan. Kita doakan saja. Dia tahu.”
Emosi saya bercampuk aduk melihat kondisi kelme dan jawaban dari nenek. Saya tarik nafas cukup dalam dan menenangkan hati saya sebelum mulai memimpin doa. Tidak sadar, suara saya mulai bergetar saat mengadu kepada-Nya. Air mata saya mulai mengalir pelan namun tidak henti-henti. Beberapa kali saya harus melap pipi yang penuh basah dengan tangan. Namun doa saya tidak terbata-bata, dengan terang saya meminta keadilan atas pemeliharaan dan pengasihan Tuhan untuk bayi yang berjuang hidup ini.
Lain dengan Adit. Mulai sejak noken dibuka, ia tidak dapat menahan rasa sedih, kalut, dan ganas yang saling menghantam di dalam. Dia urung masuk ke honai dan menyepi di bibir bukit. Saya dan Anate bertahan dan menyuapi bayi itu dengan air bubur. Waktu saya bayi, mama saya bilang saya diberikan air tajin ketika susu tidak ada, yaitu air rebusan beras. Namun saya tidak lagi mengikuti ilmu kesehatan ibu dan bayi. Salah-salah memberi kalau terjadi apa-apa dengan bayi itu maka akan terjadi lagi kasus pembunuhan. Maka kami coba dengan bubur nasi saring yang dicairkan lagi dengan air panas.
Entah kenapa hati saya meluap gembira saat melihat kelme menelan bubur cepat-cepat. Teringat saya dengan Eve keponakan saya yang sehat dan kuat makan. Saat disuapi, mulut Eve selalu mengejar-ngejar sendok berisi bubur. Sama seperti kelme. Tampak jelas bayi ini kelaparan karena ia terus membuka-buka mulutnya setelah menelan makanan. Setelah makan cukup banyak, ia mulai menolak. Kelme membuka lebar-lebar mulutnya, namun tidak lagi mencari sendok. Kala tidak ditemukannya apa yang dicari, ia mengisap-isap jempolnya sendiri. Dengan nikmat. Barulah kami sadar kalau ia haus dan mencari puting susu untuk diminum. Badan saya lemas dan hanya bisa terpaku saat menyaksikan kelme mengisap jempolnya seolah-olah itu adalah air susu yang sangat lezat. Seandainya… sungguh seandainya saya bisa menyusui 🙁
Langit sore berwarna kian kelabu. Ada sekitar 100 orang di luar honai dimana kelme berbaring sendiri dalam noken yang digantungdi pagar kandang babi. Semua orang berkerumun dengan serius dan antusias menyaksikan penyerahan babi sebagai proses bayar kepala atau denda. Namun, tidak ada satu pun yang memasakkan kelme air minum, berani memberikannya susu ibu, membersihkannya, atau menggendongnya. Menuntut denda dia yang mati “dibunuh” adalah masalah dunia pertama. Sementara bayi hidup berusia dua hari yang kedinginan dan lapar, masih bisa menunggu kedua pihak bicara panjang, menawar, hingga babi berpindah tangan.
Sebelum pulang kami menyaksikan puncak penyerahan 6 babi dari ayah kelme kepada bapak Enos mertuanya. Ketika tali babi itu diserahkan oleh sang suami, semua kulminasi emosi terpancar jelas dari wajah laki-laki berusia 30 tahunan itu. Marah, sedih, kecewa, kalah, takut, bercampur aduk dengan lega, bebas yang tertuang abstrak di air mukanya. Dan ketika tali babi tiba di genggaman Pak Enos, saya meresonansi sebuah luapan bahagia dari seluruh syaraf di mukanya yang bermekaran. Dilanjutkan dengan pelukan hangat dari mertua kepada menantunya, yang masih dibalas getir oleh sang menantu. Enam babi dan 10 juta. Kepala dibayar. Damai. Selesai.
Sebelum tiba di Kosarek kami menyampaikan bahwa tahun pertama ini penting untuk mempelajari hidup sebagai masyarakat Kosarek, lewat budaya dan bahasa. Namun saat diperhadapkan dengan budaya yang meremukkan hati dan membuat kami menangis berseru atas “keadilan” untuk kelme yang berlawanan dengan budaya setempat, timbul penolakan untuk memahami hal-hal di luar akal dan nurani kami. Meski kami sadar kedatangan kami ke tengah masyarakat tradisional bukanlah untuk menjadi pejuang keadilan dengan mengenakan kaca mata modern.Karenanya, tidak lain yang kami perlukan di sini adalah hikmat untuk menyikapi setiap situasi yang bertentangan dengan worldview kami.
Menjelang maghrib, awan hitam yang berat menggantung pada langit tak mampu lagi menahan butiran air. Akhirnya ia mengucur deras tidak putus-putus tepat setelah prosesi denda berakhir. Mungkinkah ini tanda bahwa alam pun menangis berduka?